jpnn.com, JAKARTA - Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) masih membahas pasal penghinaan presiden.
Anggota Panja Arsul Sani mengatakan, secara norma dasar, pasal penghinaan presiden di RUU KUHP berbeda dengan yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
BACA JUGA: Arsul Sani Benarkan Ada Insiden saat Verifikasi PPP DIY
Menurut Arsul, perbedaan itu terletak pada sifat deliknya. "Yang tadinya delik umum dan bisa, (sekarang) menjadi delik aduan," ujar Arsul di gedung DPR, Jakarta, Senin (5/2).
"Ya presiden dan wapres dong (yang melaporkan)," tambah anggota Komisi III DPR ini.
BACA JUGA: Sori, Zulhas Sudah Capek Ditanya soal Fraksi Pendukung LGBT
Arsul tidak sepakat dengan tuntutan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden (wapres) harus dihilangkan.
Sebab, kata dia, itu tidak sejalan dengan bagian lain dari dari KUHP yang mengatur pemidanaan terhadap presiden negara lain yang sedang berkunjung di Indonesia.
BACA JUGA: PPP: Waria Ada Tujuh Juta, Penjara Tidak Muat
"Kalau menghina kepala negara lain saja dipidana, masa menghina kepala negara sendiri boleh? Kan tidak matching," ungkap sekretaris jenderal (sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Namun demikian, Arsul menuturkan, pihaknya tetap mendengar aspirasi dari berbagai elemen masyarakat.
Supaya nanti tidak menjadi pasal karet, meskipun sudah delik aduan dan membuka ruang bagi penegak hukum untuk menafsirkan semaunya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fraksi PKS Ngebet Pelaku LGBT Dihukum Berat Banget
Redaktur & Reporter : Boy