jpnn.com, SURABAYA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur meminta perlindungan dari pemerintah untuk para tenaga medis yang turun langsung menangani pasien covid-19.
Hal itu karena ada banyaknya kasus yang tenaga medis di Jatim yang meninggal karena corona.
BACA JUGA: Ini Perkembangan Kondisi Dokter yang Depresi dan Keluar Tanpa Busana
Berdasar data yang diterima, di luar Surabaya ada 76 dokter yang dinyatakan positif sedangkan 10 di antaranya meninggal dunia.
Kemudian, untuk perawat berdasar informasi dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim ada 106 perawat yang positif, dan 10 di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Reshuffle Kabinet, PNS dan PPPK Bersiaplah, Bu Risma Menangis Bersujud
“Kemudian ada bidan yang positif 52 orang, yang meninggal dua. Ini belum Surabaya, jumlahnya mungkin akan lebih banyak lagi kalau masuk Surabaya,” sebut Ketua IDI Jatim, Sutrisno, usai melakukan hearing dengan Pemprov Jatim dan Komisi E DPRD Jatim di Gedung DPRD Jatim, Surabaya baru-baru ini
Karena itu, dia betul-betul meminta kepada pemerintah daerah dan para direktur rumah sakit untuk memberikan perlindungan bagi para nakes.
BACA JUGA: Jokowi Pidato soal Insentif Nakes, Ganjar: Mudah-Mudahan Segera Cair
“Kenapa? Karena ibarat perang, tentaranya ya tenaga kesehatan itu. Jadi, kalau kepingin menang tentaranya harus dirawat, diopeni, diperhatikan. Supaya tenaganya pikirannya dan kemampuannya bisa terus melakukan pelayanannya,” jelasnya.
Sutrisno juga meminta agar ada screening rutin kepada kesehatan berupa swab tes selama seminggu atau dua minggu sekali.
Apabila yang diketahui positif atau terindikasi positif harus mendapat waktu untuk istirahat.
Dengan screening tersebut, diharapkan akan ketahuan, sehingga hanya yang sehat memberikan pelayanan.
Menurutnya, Covid-19 ini penyakit baru yang sulit diprediksi karena jenis virus yang masih baru, apalagi penyebarannya sangat mudah meski sudah menggunakan alat pelindung diri sekalipun.
Tak kalah penting, bagaimana agar para nakes ini terlindungi dari stigma yang berkembang.
Sebab, banyak kasus penolakan dari warga baik perawatan atau dalam proses pemulasaraan jenazah.
“Kemudian insentif. Sebaiknya semua tenaga kesehatan, pemerintah maupun non pemerintah yang memberikan pelayanan Covid-19 dapat insentif dari pemerintah. Syukur-syukur dapat penghargaan atau asuransi. Itu untuk semua tenaga kesehatan di level manapun, mulai dari yang di rumah sakit primer sampai rumah sakit rujukan tipe A,” kata Sutrisno.
Dari data, saat ini insentif belum diterima oleh para dokter dan perawat dari kewajiban Kementerian Kesehatan Republik Indonesia karena berbagai permasalahan.
Di sisi lain, Dinkes Jatim baru menyetor data 10 hari lalu.
“Belum turun, belum terealisasi. Oleh karena itu kami sampaikan dalam forum yang terhormat, sidang tadi, sesungguhnya penyerapan itu masih sangat rendah. Masih 1 koma sekian persen, itu jauh dari sekian triliun itu,” ujarnya.
“Inilah yang menjadi perhatian, menjadi keprihatinan, menjadi semacam atensi bagi kami, bagaimana supaya realisasi anggaran terutama untuk yang di lapangan. Untuk insentif ini bisa proporsional segera terealisasi bagi yang membutuhkan, sesuai haknya,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi E, Hikmah Bafaqih menyampaikan, tak bisa terlalu mengintervensi terkait permasalahan insentif bagi dokter dan perawat karena merupakan kewenangan dari Kemenkes.
Hanya dari informasi, selain dokter dan perawat tidak akan mendapat insentif.
“Pertanyaannya, sopir ambulance gak dapat. Berarti kita mengamanahkan APBD Provinsi ada untuk supir ambulance karena potensi terpapar. Ini yang tidak di-cover menkes dan mereka berhubungan langsung dengan pasien atau meninggal Covid dan harus di-cover APBD yang akan kita laporkan ke gubernur dan sekda untuk ditindaklanjuti,” ujarnya. (ngopibareng/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia