Para Pelatih Surfing di Pantai Kuta Cerita tentang Penghasilan Mereka

Kamis, 04 Juli 2019 – 07:00 WIB
Papan surfing berdiri tegak di antara keramaian wisatawan Pantai Kuta. FOTO: AGUS SUECA MERTA/Bali Express

jpnn.com - Penghasilan para pelatih surfing yang tersebar di Pantai Kuta tentu bergantung pada kedatangan wisatawan. Terutama wisman. Mereka pun pernah mengalami masa-masa “tiarap” lantaran sepinya kunjungan. Seperti apa?

AGUS SUECA MERTA, Denpasar

BACA JUGA: Film Cowboys in Paradise Gelap

Para pelatih surfing di Pantai Kuta tergantung dengan musim kunjungan wisatawan. Ada masa high season dan ada pula low season. Namun, ini juga tidak menentu.

Dua musim liburan setiap tahun tidak membuat mereka memanen penghasilan besar. Hanya liburan musim panas sekitar Bulan Juni sampai November saja. Sedangkan libur akhir tahun dari akhir Desember hingga Maret yang ramai dengan kedatangan wisatawan baik asing dan domestik, justru malah tidak dapat banyak pelanggan.

BACA JUGA: Cowboy Merasa Diperdaya

“Musim penuh sampah di pantai ini, sampah memenuhi pantai akhir tahun sampai Maret. Wisatawan keburu jijik lihat sampah, jadinya wisatawan cuman nongkrong saja ke pantai dan tidak mau kalau ditawari untuk surfing,” ujar Rudi.

Ucapan Rudi ini pun diiyakan oleh Candra yang mengaku pendapatan mereka akhir tahun sampai Maret merosot drastis. “Bisa seharian tidak dapat penyewa atau orang yang mau latihan,” jelas Candra.

BACA JUGA: Kelompok Teroris Tua Memperkukuh Posisinya, Dipimpin Eks Kepala Intelijen JI

Mengenai gelombang tinggi keduanya mengaku tidak terlalu berpengaruh pada pekerjaan, karena mereka biasa mengajak si pengguna jasa ke pantai yang dangkal.

“Namanya gelombang pasang surut biasa di pantai, jadi kami cari area dangkal di sebelah sana untuk latihan,” ujar Candra menunjuk kawasan pantai yang lebih dekat ke arah Bandara Internasional Ngurah Rai.

Adi, dan Andy, pun mengiyakan masalah musim angin barat yang mengakibatkan banyak sampah datang ke Pantai Kuta, membuat pendapatannya merosot. “Iya mereka memilih duduk-duduk saja ke sini. Katanya takut ada apa-apa yang berbahaya di sampah itu,” ujar Adi.

Adi yang berasal dari Sumatra Utara ini juga menjelaskan untuk pengunjung mereka rata-rata dapat tip saat selesai mengajar. “Paling cerewet yang dari India, banyak permintaan ini itu, namun sebagai penyedia jasa kita ya harus sabar,” terangnya.

“Semua relatif friendly, masalah tips kadang tergantung sama pengguna juga. Kita kasih servis bagus bisa malah gak dikasih tip, tapi saat servis rasanya kurang memuaskan malah dapat tip,” imbuhnya sambil tersenyum.

Sama halnya dengan pengalaman Adi tentang pelanggan yang cerewet, Rudy dan Candra mengiyakan pengguna dari wisatawan India paling pelit sekaligus cerewet. Keduanya sendiri terbuka menjelaskan tentang tip yang didapat.

“Paling banyak Rp 200 ribu per pengguna. Misalnya turis Hongkong paling murah hati kalau masalah ngasih tip ini. Kalau bagi kami yang friendly itu dari Australia malah diajak bercanda-canda kami ini, pas latihan,” ujar Rudy.

“Wah kalau paling ngeyel itu dari Rusia, pokoknya susah dibilangin. Baru latihan udah ingin ke tengah saja, padahal kan belum mahir. Beda sama dari Tiongkok banyakan yang panik terutama yang belum bisa renang, takut tenggelam begitu teriak mereka. Kalau yang lokal sih cerewetnya minta nawarnya kebangetan sampai Rp 100 ribu,” urai Candra menimpali Rudy menjelaskan.

Pengalaman terburuk yang mereka alami rupanya sama yakni ketika erupsi Gunung Agung beberapa waktu lalu. Erupsi yang sempat membuat Bandara Internasional Ngurah Rai tutup itu menyebabkan tidak ada sama sekali yang menggunakan jasa mereka.

“Dua sampai tiga minggu sepi,” ujar Adi. “Pokoknya kami hanya diam seharian di pantai karena sepinya pengunjung,” timpal Andy.

Senada dengan mereka, Rudy dan Candra juga mengungkapkan hal sama saat erupsi Gunung Agung. “Tidak ada pendapatan sama sekali, diam saja di sini nunggu saja berhari-hari berharap ada pengunjung,” ujar Rudy.

“Kalau saya mah gara-gara itu bikin tabungan ludes, habis hampir tak tersisa karena buat keperluan keluarga, apalagi di sini kan serba beli,” timpal Candra sambil sedikit tertawa mengenang kejadian itu.

BACA JUGA: Soal Harga Tiket Pesawat, Tulus: Pemerintah Ingin Tampil Populis Tetapi Menginjak Maskapai

Mengenai harapan kedepannya keempat pelatih ini mempunyai pendapat yang berbeda. Rudy dan Candra misalnya kompak ingin balik ke kampung halaman untuk buka usaha. “Kami kan tetangga di kampung, ingin buka usaha kalau modal sudah terkumpul,” jelas Rudy sambil melihat Candra yang mengiyakan ucapannya.

Adi dan Andy memilih untuk bekerja sampai bosan. “Pokoknya sampai bosan kerjanya, masalah ingin buka usaha sih ada, namun karena pendapatan juga tidak pasti lihat ke depannya saja deh,” pungkasnya mengakhiri. (*/aim)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler