jpnn.com, JAKARTA - Head of Research Data Indonesia Herry Gunawan mempertanyakan klarifikasi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang menyebut tarif tidak akan terpengaruh ketika pemerintah menetapkan pajak penjualan pulsa dan token listrik.
Menurut pria yang karib disapa Heg itu, kemungkinan besar distributor akan membebankan kepada pengecer dari kebijakan pajak penjualan pulsa dan token listrik.
BACA JUGA: Soal Pajak Pulsa, Sri Mulyani Jawab Begini
Kemudian, kata dia, pengecer juga akan membebankan PPN tersebut ke konsumen.
“Klarifikasi Menkeu terkait pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan di tingkat distributor, bukan pengecer. Pertanyaannya, apakah distributor tidak akan membebankan ke pengecer?” kata Herry Gunawan dalam pesan singkatnya kepada awak media, Selasa (2/2).
BACA JUGA: Innalillahi, Pian Firmansah Warga Bekasi Tewas Dibacok, Kejadiannya di Jalan Anggrek 1
Selain soal kenaikan harga di level konsumen, Heg juga menyoroti soal ketimpangan perpajakan yang diakibatkan kebijakan tersebut.
Heg mempertanyakan mengapa para pemain pasar uang di dalam negeri yang kaya raya tidak dipajaki, sementara rakyat kecil pembeli pulsa dipajaki.
BACA JUGA: Adang Suganda Dikeroyok, Dianiaya, 50 Tusukan, Kejam
“Kebijakan seperti itu kontraproduktif. Sementara pembeli global bond bebas pajak alias dapat subsidi pemerintah. Ketimpangan yang nyata. Kenceng ke bawah, lunak ke atas,” sesalnya.
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) Pulsa dan Kartu Perdana yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 6/PMK.03/2021 masih ansurd.
Sebab, kata dia, di dalam PMK tidak terdapat rujukan peraturan lama yang perlu disederhanakan, sehingga masyarakat menanggapinya sebagai pajak baru.
"Untuk itu, mohon Menteri Keuangan yang terhormat berkenan memberi peraturan lama sebagai bahan sosialisasi kepada sekelompok masyarakat yang berkepentingan," kata Anthony dalam keterangan resminya, Selasa.
Sejatinya, kata Anthony, pulsa dan kartu perdana bukan barang kena pajak, karena bukan barang konsumsi.
Pulsa dan kartu perdana hanya sebagai sarana menyimpan uang dengan nilai tertentu. Uang itu, kata dia, dapat dibelanjakan untuk melakukan panggilan telepon atau data setelah diaktifkan.
Sementara itu, kartu perdana yang berisi nomor telepon, adalah sarana untuk melakukan pemanggilan telepon atau akses data atau internet.
"Adapun barang konsumsi, atau barang kena pajak, yang sebenarnya adalah pemakaian telepon atau pulsa dan data atau internet, atau singkatnya jasa telekomunikasi. Artinya, barang kena pajak yang dimaksud adalah pulsa yang dipotong oleh penyelenggara telekomunikasi seperti Telkom, Telkomsel, dan lainnya," tutur Anthony.
Selanjutnya, sambung Anthony, ketika pulsa diserahkan kepada pelanggan, yang terjadi adalah perpindahan penyimpanan uang dari kas atau bank pelanggan, ke bentuk kartu pulsa.
Kemudian, ujar Anthony, hal ini sejalan dengan perlakuan perpajakan untuk pelanggan pascabayar dengan penagihan bulanan.
Tagihan bulanan tersebut berdasarkan realisasi pemakaian telepon atau pulsa di tambah PPN. Artinya PPN hanya dikenakan berdasarkan pemakaian atau konsumsi pulsa yang sesungguhnya.
Namun, kata dia, untuk nomor telepon perdana prabayar, penyelenggara telekomunikasi tidak melakukan penagihan.
Konsep ini, imbuh Anthony, juga sejalan dengan prinsip akuntansi dan perpajakan untuk penyelenggara telekomunikasi. Yakni pendapatannya dibukukan berdasarkan pemakaian aktual pulsa.
Sementara itu, penerimaan uang dari distribusi kartu pulsa dicatat sebagai uang muka dan bukan Pendapatan.
Ini juga dapat diartikan, pelanggan menyimpan uang di penyelenggara telekomunikasi. Artinya, kata dia, belum terdapat proses nilai tambah yang sebenarnya baru terjadi ketika pulsa digunakan atau dikonsumsi pelanggan dan dipotong oleh penyelenggara telekomunikasi.
"Oleh karena itu, PPN untuk pulsa, apabila dikenakan, harus dihitung ketika terjadi pemakaian atau konsumsi pulsa. Jadi, peraturan pengenaan PPN pada pulsa dan Kartu Perdana yang tertuang dalam PMK Nomor 6/PMK.03/2021 dibatalkan," beber Anthony. (ast/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan