Para Siswa Fasih Nyanyikan Lagu Indonesia Raya

Jumat, 21 Juni 2013 – 07:38 WIB
SISTER SCHOOL: Melinda Douglas (kanan) mengajak siswa SD Marlborough berkomunikasi lewat Skype dengan murid MIN Cempaka Putih, Tangsel. Foto: Abdul Rokhim/JAWA POS/JPNN
Indonesia mendapat tempat khusus di hati anak-anak Sekolah Dasar (SD) Marlborough, Australia. Perbedaan jarak dan bahasa tidak menghalangi mereka untuk saling menyapa dan membantu. Berikut laporan wartawan Jawa Pos ABDUL ROKHIM yang sedang mengikuti Senior Editor Forum yang diadakan pemerintah Australia.
 
"Halo, selamat siang, nama saya Jane."
"Halo, selamat sore, nama saya Kathy."
"Selamat datang!" Teriakan dalam bahasa Indonesia bersahut-sahutan itu menyapa Jawa Pos yang akan memasuki gerbang SD Marlborough di Hathmont, negara bagian Victoria, Australia, Rabu (19/6).
 
Lelah setelah menempuh perjalanan hampir dua jam dari pusat Kota Melbourne pun langsung luruh.Teriakan itu spontan dan dilakukan sambil berlarian, bermain ayunan, atau di tengah obrolan mereka. Tidak ada yang mengomando dan mengatur.
 
Janji dengan Kepala Sekolah Angie O"Hare, rupanya, sudah diberitahukan para guru kepada murid-murid kelas 3 dan 4 yang sedang beristirahat. Tidak diduga murid-murid itu menyapa Jawa Pos dengan gembira.
 
Tidak lama berselang, O"Hare yang ditemani seorang guru yang kemudian mengenalkan dirinya sebagai Kathy McVeigh menyambut Jawa Pos yang datang bersama enam peserta Senior Editor Forum.
 
Dia menjelaskan, sejak September 2012, murid-murid di sekolahnya dikenalkan dengan bahasa Indonesia. "Pelajaran bahasa Indonesia diajarkan di semua kelas," ujarnya dengan ramah. SD Marlborough memiliki 192 siswa yang terbagi mulai kelas persiapan hingga kelas 6.
 
Sejak tahun lalu, bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa yang dipelajari selain bahasa Inggris. "Semula kami punya mata pelajaran bahasa asing lain seperti China dan Jerman. Namun, mata pelajaran itu sudah tidak diajarkan dan kini diganti bahasa Indonesia," jelas O"Hare.
 
Pemilihan bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang masuk kurikulum itu melalui berbagai pertimbangan. Salah satunya dukungan program Bridge (Building Relationship Through Intercultural Dialog and Growing Engagment) yang digagas the Australia-Indonesia Institute dan the Asia Education Foundation.

Program Bridge memfasilitasi pendidikan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan guru dan siswa asal Australia dan Indonesia tentang budaya, bahasa, serta isu-isu terhangat di kedua negara. Tujuan lainnya adalah menghancurkan citra negatif yang masih ada. Jadi, kini siswa maupun guru tidak hanya membaca buku atau berdiskusi dalam kelas untuk belajar bahasa, seni, dan budaya, tapi juga saling mengunjungi dan berinteraksi.
 
Pertimbangan lain memilih bahasa Indonesia adalah permintaan orang tua murid. Dengan asal murid yang beragam terbanyak dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang memiliki bahasa serumpun, bahasa Indonesia bisa diterima banyak wali murid. "Kami juga mempertimbangkan posisi Australia yang bertetangga dekat dengan Indonesia,"kata O"Hare.
 
Banyaknya dukungan itu membuat upaya mengenalkan Indonesia tidak dilakukan setengah-setengah oleh pengurus dan staf pengajar SD Marlborough. Ruang perpustakaan, majalah dinding, hingga koleksi mainan sebagian besar bertema Indonesia. Sepasang wayang kulit, Arjuna dan Bima, menghiasi majalah dinding. Di perpustakaan terpajang buku-buku cerita anak seperti Timun Mas, Sangkuriang, dan Malin Kundang. Sedangkan di tempat bermain terlihat papan bermain dakon (conglak) serta alat musik angklung.
 
Saat Jawa Pos berkunjung, para guru juga menunjukkan aktivitas komunikasi jarak jauh lewat internet dengan sebuah SD di Indonesia. SD Marlborough adalah sekolah terpilih di Negara Bagian Victoria yang akan menerima kunjungan sekaligus mengunjungi mitra sekolah di Indonesia. Sedangkan sekolah di Indonesia yang menjadi mitra SD Marlborough adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Cempaka Putih, Tangerang Selatan, Banten.
 
Siang itu O"Hare ingin menunjukkan bagaimana keakraban para siswanya dengan teman-teman mereka di Indonesia. Siswa-siswi kelas IV dan V itu diajak ke perpustakaan. Melalui teknologi komunikasi video Skype, Melinda Douglas, salah seorang guru, memimpin percakapan video para murid dengan teman-temannya di MIN Cempaka Putih.
 
"Hai, apa kabar?" sapa Melinda kepada dua guru MIN Cempaka Putih, Bu Siti dan Bu Feti, yang memimpin percakapan di Indonesia. "Hello, how are you" Bismillah, bisa kita mulai?" balas mereka.
"Oke, bismillah, alhamdulillah, kita mulai," balas Mel.
 
"Ohh, only bismillah, alhamdulillah just for the end," jawab guru MIN Cempaka Putih yang membuat para guru dan siswa di SD Marlborough langsung tertawa.
 
Setelah berbasa-basi itu, satu per satu perwakilan kelas SD Marlborough maju ke depan laptop untuk memperkenalkan diri dalam bahasa Indonesia. "Saya Matt, kelas IV, saya hobi bola basket," ujar Matt Bryan, kapten sekolah (semacam ketua OSIS), mengawali perkenalan. Perkenalan Matt kemudian diikuti lima siswa lain yang mewakili kelas masing-masing.
 
Selanjutnya, seperti yang sudah disiapkan dengan matang, anak-anak SD yang sebagian besar belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia itu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu tersebut mereka pelajari dari Bu Siti dan Bu Feti yang mengunjungi dan mengajar di SD Marlborough tahun lalu.
 
Dari layar proyektor yang menunjukkan komunikasi lewat Skype, terlihat para murid MIN Cempaka Putih bertepuk tangan dengan meriah setelah lagu selesai dinyanyikan. Mereka ikut bangga menyaksikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan teman-teman mereka di Australia.
 
Sebagai balasan, performance tarian tradisional dari Aceh dipersembahkan. Meskipun tak terlihat jelas di layar, para murid SD Marlborough menyimak dengan baik dan bertepuk tangan meriah setelah tarian itu selesai dibawakan. "Dengan teknologi internet, yang semula kami pikir tidak mungkin menjadi mungkin," terang O"Hare.

Perbedaan bahasa, lingkungan, level ekonomi, bahkan agama tak menjadi persoalan jika kedua pihak berniat keras agar rasa persahabatan ditumbuhkan. O"Hare menceritakan, dalam beberapa sesi interaksi lewat Skype bersama, para murid membicarakan apa saja, mulai pengertian menjadi seorang muslim, tari-tarian, wayang kulit, hingga sepak bola. "Sayang, waktu kami terbatas sehingga tidak bisa menunjukkan semuanya," ujarnya.
 
Tak hanya berinteraksi dalam dunia maya, kedua sekolah pernah bersama-sama terlibat dalam aksi sosial untuk membantu korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, tepatnya tahun lalu. Melinda menceritakan, semuanya berawal dari pelajaran tentang bencana. Pada 2011 murid-murid SD Marlborough mendapat video tentang bencana lumpur di Sidoarjo.
 
Saat mendapat partner MIN Cempaka Putih setahun kemudian, terlontar ide untuk membantu korban luapan lumpur di Porong, Sidoarjo, itu. "Banyak murid kami yang terharu saat di video disebutkan ada 75 ribu warga yang harus terusir dari rumah, anak-anak kehilangan sekolah, serta orang tua mereka kehilangan pekerjaan dan tempat bekerja," ungkap Melinda.
 
Kebetulan, dua guru SD Marlborough, Melinda dan Kathy, mendapat undangan untuk ikut program Indonesia Uncovered Bridge Study Tour. Pada program itu Melinda dan Kathy difasilitasi pergi ke Sidoarjo untuk menyaksikan langsung di lokasi bencana.

"Ternyata situasinya lebih memprihatinkan dari yang terlihat di video. Kami melihat luapan lumpur yang sangat luas dengan suhu yang sangat panas,"ungkap Melinda. Apalagi, mereka juga bertemu dengan beberapa keluarga korban lumpur Lapindo yang kondisinya memprihatinkan.
 
Setelah program tur selesai, Melinda dan Kathy merundingkan apa yang bisa mereka perbuat dengan sister school MIN Cempaka Putih. Di luar dugaan, meskipun belum melihat langsung, Bu Siti dan Bu Feti serta seluruh staf pengajar MIN Cempaka Putih bersemangat melakukan aksi amal bersama untuk korban lumpur Sidoarjo.
 
SD Marlborough melakukan penggalangan dana melalui permainan chooklotto. Dalam permainan tradisional Australia itu, para murid membuat bentuk kotak-kotak catur raksasa di halaman sekolah. Setiap murid kemudian berkampanye untuk menjual tiap-tiap kotak itu seharga 10 dolar Australia atau Rp 91.500.
 
Tanpa diduga, penggalangan dana itu berhasil. Dalam seminggu, 64 kotak catur di halaman sekolah tersebut habis terjual. Uang yang terkumpul 640 dolar Australia (AUD). Sebagian dibelikan seekor ayam yang diberi nama RoadRunner.
 
"RoadRunner kemudian dilepas di kotak-kota catur itu saat acara gathering donatur. Semua tegang untuk mengetahui di kotak mana si ayam akan membuang kotoran," jelas Melinda tentang permainan tersebut.
 
Setelah beberapa menit ditunggu, ternyata ayam membuang kotoran di kotak no 29 milik Barb, petugas kebersihan sekolah. "Dikurangi hadiah untuk Barb sebesar 100 AUD, kami mendapat donasi 540 AUD (sekitar Rp 4.936.000)," jelas Melinda.
 
Sedangkan para murid MIN Cempaka Putih mengadakan bazar selama tiga hari di sekolah. Mereka membuka stan makanan, alat tulis, juga aneka kerajinan yang ditawarkan kepada siswa lain. Ditambah hasil sumbangan dari keuntungan bazar MIN Cempaka Putih sebesar Rp 13.600.000.
 
Dengan demikian, donasi murid-murid SD yang terpisah negara, bahkan benua, untuk korban lumpur Lapindo itu sebesar Rp 18.536.000. "Nilainya memang tidak besar dan pasti tidak mungkin mengatasi masalah di Sidoarjo. Namun, kami bangga karena kerja sama kami bermanfaat buat orang lain," ujar O"Hare.

O"Hare berharap pemerintah Australia dan Indonesia lebih sering mengadakan program kontak antara dua sekolah seperti yang mereka lakukan. "Bangga sekaligus terharu menyaksikan anak-anak berusaha mengatasi kendala bahasa dan budaya agar bisa cepat berbaur," tutur O"Hare. (*/c11/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menginap di Senayan, Tak Pulang Sampai Tuntutan Dipenuhi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler