jpnn.com - Ashley Judd, Susan Fowler, Adama Iwu, Taylor Swift, dan Isabel Pascual hanyalah lima di antara ratusan perempuan yang berani meneriakkan kebenaran.
Dan, tidak berhenti di sana, mereka juga berani menghadapi dan melawan orang-orang yang menutupi kebenaran tersebut. Bahkan, sampai ke persidangan sekalipun.
BACA JUGA: Golden Globe Bakal Diwarnai Unjuk Rasa Aktris-Aktris Cantik
Maka, layak jika Edward Felsenthal, pemimpin redaksi majalah Time, menganugerahkan gelar Person of the Year 2017 kepada mereka, para silence breakers.
Terpicu gerakan #MeToo, para pendobrak keheningan itu sukses menciptakan kampanye positif yang sampai sekarang masih bergaung di 85 negara. Bahkan melahirkan perubahan.
BACA JUGA: Salma Hayek Dipaksa Produser Cabul Beradegan Sesama Jenis
”Media sosial telah membuktikan ketangguhannya sebagai akseleran,” ungkap Felsenthal.
Tagar yang langsung populer dalam hitungan menit itu membuat para pengguna internet jauh lebih aktif.
BACA JUGA: Tangan Cabul Harvey Weinstein Menjangkau Sampai Bollywood
”Saat saya bangun tidur dan mengecek media sosial saya, ada 32.000 respons di sana. Itu semua terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam,” kata Alyssa Milano yang ikut menyebarluaskan kisah Weinstein dengan kode #MeToo.
Di dunia politik, tagar tersebut membuat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump makin tenar. Pemimpin yang diyakini melakukan kejahatan dan pelecehan seksual itu sempat beberapa kali tidak sengaja menyombongkan perilaku buruknya.
”Saya ingat benar. Saat (Trump terpilih sebagai presiden) itu, saya langsung lemas. Saya tahu pasti, pemerintah tak akan menaruh perhatian pada kasus seperti ini,” kata Fowler.
Melalui kesaksian Fowler-lah, Uber lantas berbenah. Perusahaan yang berkantor pusat di Kota San Francisco, Negara Bagian California, itu disebut Fowler tidak menghargai perempuan.
Perempuan-perempuan yang bekerja di Uber menjadi objek pelecehan oleh para pekerja pria.
”Budaya di kantor ini sama sekali tidak benar,” ungkap perempuan yang menjadi salah seorang teknisi di Uber tersebut. Berkat Fowler, Uber lantas mengubah kebijakannya.
Lewat suara dan kesaksian para pendobrak keheningan itu, masyarakat diajak berani membela kebenaran.
”Saya ingin memberikan contoh kepada putri saya yang berumur 11 tahun bahwa membela martabat kita adalah hal yang baik. Meski, kita harus berhadapan dengan dunia yang seolah-olah melawan kita,” kata Dana Lewis.
Lewis menjadi salah seorang pendobrak keheningan yang menuai apresiasi Time karena berani mempertaruhkan pekerjaannya demi kebenaran.
Perempuan yang bekerja di hotel itu menggugat bosnya yang tidak berbuat apa-apa saat mendengar bahwa salah seorang karyawannya gemar menggerayangi rekan kerjanya.
Cheryl Dumesnil, penulis sekaligus penyair Negeri Paman Sam, memperingatkan pria-pria yang punya kuasa dan suka melecehkan perempuan agar waspada terhadap dampak silence breakers.
Sebab, bisa jadi, karir dan kehidupan mereka akan tamat jika mereka tidak berubah.
”Saya menyaksikan sendiri profesor yang pernah melecehkan saya di kampus hancur setelah kasusnya kami angkat di jalur hukum,” ujarnya.
Itu bisa terjadi karena tulisan-tulisan tentang kasus si profesor dan pelecehan seksual yang dia lakukan tetap abadi di dunia maya.
”Kasus itu sudah sekitar 20 tahun berlalu, tapi masih saja dibicarakan. Dan, profesor tersebut juga tidak bisa meningkatkan karir karena reputasi buruknya,” ungkapnya sebagaimana dikutip Huffington Post.
Hal yang sama, menurut Dumesnil, akan terjadi pula kepada Weinstein dan para predator seksual lainnya. (hep/c17/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Cuma Weinstein, Hollywood Dipenuhi Pria Tua Mesum
Redaktur & Reporter : Adil