Para Waria ini Merasa Damai Membaca Alquran di Madrasah Khusus Kaum LGBT

Minggu, 28 Maret 2021 – 10:31 WIB
Rani Khan (kanan), pendiri madrasah khusus waria di Pakistan. Foto: Tangkapan layar via Al Jazeera/

jpnn.com, PAKISTAN - Pakistan mendirikan sekolah agama atau madrasah yang semua muridnya ialah waria atau transgender. Sekolah khusus transpuan itu didirikan sendiri oleh Rani Khan (34) yang juga seorang transgender.

Di negara dengan penduduk mayoritas muslim itu, sekolah asuhan Rani Khan tersebut menjadi tonggak bersejarah bagi komunitas LGBTQ.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Wanita Emas jadi Capres, Setuju? Anak KSAD Jenderal Andika Ikut Andil, Target Meleset

Pasalnya, selama ini para waria sering diusir dari masyarakat, meski tak ada aturan resmi yang melarang kehadiran mereka di sekolah agama pun beribadah di dalam masjid.

"Sebagian besar keluarga menolak transgender. Mereka diusir dari rumah. Saya dahulu juga begitu," kata Khan seperti dilansir dari Al Jazeera.

BACA JUGA: Warga Irak Berbuat Terlarang Terhadap Waria, Terjadi di Indekos

Rani Khan tampak memakai kerudung sederhana berwarna putih. Kerudung itu menutup seluruh rambutnya. Saat ditemui, Rani sedang melantunkan ayat dari Alquran.

Di saat senggangnya, dia lantas melanjutkan kisahnya. Di umur 13, Rani yang diusir dari rumah berakhir menjadi pengemis. Usia 17, dia bergabung dengan kelompok waria yang hidup dari menjual jasa menari di pesta pernikahan dan yang lain.

BACA JUGA: Transgender Cantik ini Terpilih jadi Pembaca Berita Televisi di Bangladesh

Tak lama, dia keluar dari kelompok tersebut, dan menekuni agama. Langkah besar ini dia pilih setelah bermimpi bertemu dengan mendiang teman warianya, yang memintanya untuk berbuat sesuatu bagi komunitas mereka.

Rani Khan lantas kembali pulang, belajar Al Quran dan masuk ke sekolah madrasah. Pada Oktober tahun lalu, ia membuka sekolah madrasah dengan dua ruangan miliknya sendiri.

"Saya mengajar mengaji untuk memuja Tuhan, untuk hidup sekarang dan bekal hidup nanti," lanjutnya. Di sekolahnya, para waria diberikan tempat tinggal dan beribadah, belajar tentang Islam, dan bertobat dari tindakan di masa lalu.

Dia mengaku, hingga saat ini sekolahnya tak menerima bantuan dari pemerintah. Meski sejumlah pejabat menawarkan bantuan untuk mendanai sekolahnya.

Selain beribadah, dia juga mengajar anak didiknya dengan keterampilan lain, seperti menjahit. Hasil karyanya dijual dan digunakan untuk mendanai sekolahnya.

Pengakuan Pakistan atas Transgender

Pemerintah Pakistan telah memberikan pengakuan pada kelompok transgender pada 2018. Para waria dikenali sebagai gender ketiga. Pengakuan ini berdampak pada sejumlah hak dasar, seperti hak untuk memilih saat pilpres, dan mengubah gendernya dalam dokumen resmi.

Meski begitu, kelompok waria tetap menjadi kaum marginal di negara tersebut. Sering kali mereka berakhir menjadi pengemis, penari, dan pelacur untuk bertahan hidup.

Sekolah madrasah dianggap mampu membantu waria membaur dalam masyarakat mayoritas. "Saya berharap jika model ini dicontoh di tempat lain, akan ada kemajuan," kata Komisioner Islamabad, Hamza Shafqaat kepada Reuters.

 Sensus penduduk di Pakistan 2017 menemukan terdapat 10 ribu transgender di negara itu. Kelompok transgender menyebut kini jumlah para waria mencapai 330 ribu dalam negara berpopulasi sebanyak 220 juta jiwa itu.

Selain Pakistan, Bangladesh juga memiliki sekolah khusus waria di Dhaka, ibu kota Bangladesh. Tahun lalu, kelompok transgender Kristen juga membuka gereja sendiri di wilayah Karachi.

Simran Khan, adalah salah satu siswa di madrasah milik Rani Khan. Waria berusia 19 tahun itu mengaku bertemu kedamaian, saat membaca Alquran. "Ini jauh lebih baik, dibanding hidup penuh dengan hinaan," katanya. (alj/rtr/ngopibareng/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler