jpnn.com - JAKARTA - Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai banyaknya masalah penerapan hukum pemilu di Indonesia muncul akibat konstruksi kerangka hukum pemilu yang kurang kokoh dan terpisah-pisah.
Paling tidak diatur dalam sejumlah undang-undang mulai dari UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu DPR, DPRD, dan DPD serta UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah juga secara terpisah lewat UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Bahkan undang-undang ini juga telah beberapa kali direvisi.
BACA JUGA: DPR Desak Jokowi Segera Atasi Asap
“Jadi pendekatan adhoc dalam perubahan hukum mengakibatkan hukum menjadi tidak tetap dan tidak ada harmonisasi di setiap undang-undang. Kondisi ini cenderung semakin parah dan sering kali mengakibatkan ketidak-jelasan prosedur hukum bagi penyelenggara pemilu," ujar Titi, Selasa (6/10).
Menurut Titi, kondisi masih ditambah tumpang tindih dan kontradiksi antara ketentuan-ketentuan di undang-undang yang berbeda, inkonsistensi hukuman dan persyaratan, dan kekosongan hukum yang menyebabkan ketidakjelasan.
BACA JUGA: Duh, 30 Persen Kapal Navigasi Indonesia Sudah "Tuwir"
“Kerangka hukum pemilu yang ada seharusnya memberikan ruang bagi penyelenggara pemilu untuk membangun panduan teknis dalam bentuk peraturan. Kerangka hukum yang lemah dapat menyebabkan kebingungan bagi pemangku kebijakan dalam menafsirkan prosedur pemilu,” ujarnya.
Mengatasi kondisi yang ada, Titi mendorong perlunya wacana untuk mengkaji dan memperbarui UU pemilu serta menyatukan berbagai aturan tersebut menjadi satu undang-undang pemilu.
BACA JUGA: KEJAM: DPR Benar-benar Amputasi KPK
“Para pengambil kebijakan di DPR berpendapat bahwa ini adalah tindakan fundamental yang dapat mengatasi permasalahan kerangka hukum pemilu di Indonesia, baik di tingkat UU maupun peraturan,” ujar Titi.
Sayangnya, para pengambil kebijakan, menurut Titi, hanya akan mengkodifikasi dua undang-undang pemilu. Yaitu UU Pemilu Presiden dan UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini terjadi karena masih ada perdebatan mengenai posisi pilkada yang tidak berada dibawah rezim pemilu nasional serta argumen yang mengatakan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu harus berdiri sendiri.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Amputasi KPK, Apa Kabar Istana?
Redaktur : Tim Redaksi