JAKARTA - Pemilu 2014 sangat rentan dimasuki dana-dana liar yang berasal dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh para calon legislatif maupun parpol dalam meraih suara. Guna menghidari hal tersebut, Global Organization of Parliementary Against Corruption (GOPAC) untuk Indonesia mengharapkan perlu adanya ketentuan sanksi bagi yang tidak menjelaskan secara detail sumber dana dan belanja kampanyenya.
"Sampai saat ini tidak ada aturan main yang memberikan sanksi kepada parpol atas ketidakjelasan pengeluarannya saat pemilu. Untuk itu perlu dipikirkan ke depannya," kata Ketua GOPAC Pramono Anung saat menjadi pembicara di workshop GOPAC Indonesia di Jakarta, kemarin (13/6).
Pramono mengungkapkan, tidak jelasnya dana itu sering dijumpai di saat pilkada dan pileg. "Contoh saja, di tahun 2009 lalu ada parpol yang melaporkan keuangannya hanya Rp 49 miliar. Padahal, untuk promosi di media massa saja lebih dari itu. Namun, meski sudah melakukan pembohongan, namun parpol itu tidak diberi sanksi," tutur pria yang juga Wakil Ketua DPR RI ini.
Meski sudah memiliki UU Pemilu yang baru, namun menurut pria yang akrab disapa Pram ini, masih banyak tantangan yang harus dibenahi, khususnya saat pileg. Yakni tidak adanya batasan belanja kampanye dan pengaturan belanja perorangan caleg, kepala daerah serta saat pilpres. Juga belpenyumbang kecuali hanya berupa identitas jelas, dan belum adanya regulasi kreatif untuk pendanaan politik.
"Jadi caleg yang punya uanglah yang bisa dengan mudah melanggeng menuju kursi kekuasaan, dibanding dengan politisi partai yang sudah mengabdi belasan tahun, namun duitnya terbatas," ucapnya.
Untuk menghindari penggunaan belanja kampanye yang mahal itu dan menghindari penggunaan uang yang berasal dari TPPU, maka Pram mencoba melakukan beberapa usulan agar bisa diterapkan di dalam UU Pemilu berikutnya. Yakni pertama, agar pemerintah ikut memodali para caleg yang akan bertarung di dapil agar tidak melakukan politik uang sehingga menimbulkan sikap pragmatisme di kalangan masyarakat.
"Dan kedua diberinya kesempatan kepada partai politik untuk mempunyai badan usaha milik partai yang tidak boleh berhubungan langsung atau tidak langsung dengan APBN. Yang kemudian diwajibkan dalam kurun waktu tertentu, sebagian sahamnya harus dimiliki publik," ucap Pram memberi pandangannya terhadap masa depan pendanaan parpol.
Dia memberikan contoh di beberapa negara Eropa seperti Moldova, Austria, dan Denmark. Di negara itu sebagian calegnya tidak mengeluarkan biaya, bahkan dibiayai oleh negara.
Usulan berikutnya, perlu diterapkan sistim proporsional gabungan antara terbuka dan tertutup dalam pileg. Kemudian pilkada langsung hanya pada tingkat II (kota dan kabupaten), sedangkan gubernur dipilih melalui DPRD. "Selain itu harus diberikan sanksi yang tegas dan berat bagi yang melakukan pelanggaran pemilu," tegasnya.(mas/jpnn)
"Sampai saat ini tidak ada aturan main yang memberikan sanksi kepada parpol atas ketidakjelasan pengeluarannya saat pemilu. Untuk itu perlu dipikirkan ke depannya," kata Ketua GOPAC Pramono Anung saat menjadi pembicara di workshop GOPAC Indonesia di Jakarta, kemarin (13/6).
Pramono mengungkapkan, tidak jelasnya dana itu sering dijumpai di saat pilkada dan pileg. "Contoh saja, di tahun 2009 lalu ada parpol yang melaporkan keuangannya hanya Rp 49 miliar. Padahal, untuk promosi di media massa saja lebih dari itu. Namun, meski sudah melakukan pembohongan, namun parpol itu tidak diberi sanksi," tutur pria yang juga Wakil Ketua DPR RI ini.
Meski sudah memiliki UU Pemilu yang baru, namun menurut pria yang akrab disapa Pram ini, masih banyak tantangan yang harus dibenahi, khususnya saat pileg. Yakni tidak adanya batasan belanja kampanye dan pengaturan belanja perorangan caleg, kepala daerah serta saat pilpres. Juga belpenyumbang kecuali hanya berupa identitas jelas, dan belum adanya regulasi kreatif untuk pendanaan politik.
"Jadi caleg yang punya uanglah yang bisa dengan mudah melanggeng menuju kursi kekuasaan, dibanding dengan politisi partai yang sudah mengabdi belasan tahun, namun duitnya terbatas," ucapnya.
Untuk menghindari penggunaan belanja kampanye yang mahal itu dan menghindari penggunaan uang yang berasal dari TPPU, maka Pram mencoba melakukan beberapa usulan agar bisa diterapkan di dalam UU Pemilu berikutnya. Yakni pertama, agar pemerintah ikut memodali para caleg yang akan bertarung di dapil agar tidak melakukan politik uang sehingga menimbulkan sikap pragmatisme di kalangan masyarakat.
"Dan kedua diberinya kesempatan kepada partai politik untuk mempunyai badan usaha milik partai yang tidak boleh berhubungan langsung atau tidak langsung dengan APBN. Yang kemudian diwajibkan dalam kurun waktu tertentu, sebagian sahamnya harus dimiliki publik," ucap Pram memberi pandangannya terhadap masa depan pendanaan parpol.
Dia memberikan contoh di beberapa negara Eropa seperti Moldova, Austria, dan Denmark. Di negara itu sebagian calegnya tidak mengeluarkan biaya, bahkan dibiayai oleh negara.
Usulan berikutnya, perlu diterapkan sistim proporsional gabungan antara terbuka dan tertutup dalam pileg. Kemudian pilkada langsung hanya pada tingkat II (kota dan kabupaten), sedangkan gubernur dipilih melalui DPRD. "Selain itu harus diberikan sanksi yang tegas dan berat bagi yang melakukan pelanggaran pemilu," tegasnya.(mas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gubernur Riau Sudah Siap Diperiksa di Hari Jumat
Redaktur : Tim Redaksi