“Jadi, ketika mencari perempuan untuk didudukkan di kepengurusan, parpol-parpol kesulitan,” kata Hairiah, aktivis perempuan yang juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Kalbar, Jumat (16/11).
Parpol-parpol mestinya melakukan kaderisasi secara berjenjang dan terus-menerus dalam melibatkan perempuan. Pendidikan politik ke masyarakat juga hendaknya lebih ditingkatkan. Pemenuhan syarat verifikasi faktual jangan hanya bersifat instan. “Kalau instan, nanti perempuan yang masuk kepengurusan hanya keluarga atau orang terdekat dari pengurus. Tidak menjangkau masyarakat umum atau hanya asal-asalan,” ujarnya.
Seperti diberitakan, partai-partai kesulitan memenuhi proporsi 30 persen pengurus dari kalangan perempuan sebagaimana yang disyaratkan dalam verifikasi faktual. Anggota Komisi Pemilihan Umum Kalbar, Muhammad Isa mengatakan pemenuhan syarat keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat provinsi sekurang-kurangnya 30 persen masih banyak yang tidak terpenuhi.
Dari hasil verikasi yang dilakukan ternyata lebih dari 50 persen parpol di tingkat provinsi belum mampu memenuhi persyaratan ini. Namun, KPU masih memberikan waktu hingga 17 November bagi partai politik untuk memperbaiki sejumlah kekurangan.
Sementara menurut Hairiah, sebetulnya banyak perempuan yang tertarik untuk terlibat di bidang politik. Hanya saja, mereka kurang mendapat informasi yang cukup, misalnya tentang hal-hal yang akan mereka hadapi ketika sudah terjun ke politik. Selain itu, perempuan yang berminat dengan politik pun kerap tidak memiliki jaringan untuk merealisasikannya.
Ia berharap, parpol-parpol dapat menyikapi persyaratan kuota 30 persen perempuan dengan benar yaitu dengan meningkatkan pendidikan politik. Imej bahwa dunia politik itu keras, kotor, sulit dijangkau perempuan atau cenderung maskulin perlu diubah. Hairiah memaklumi jika ada suami yang tidak setuju jika istri atau pacarnya menjadi pengurus parpol.
“Itu karena parpol mengajak perempuan untuk terlibat dalam kepengurusan secara tiba-tiba, tergopoh-gopoh karena ingin memenuhi syarat 30 persen. Sementara, suami juga tidak paham benar soal politik,” katanya.
Sementara menurut Jumadi, pengamat politik dari Untan, minimnya keterlibatan perempuan di dalam ranah politik praktis baik sebagai pengurus parpol maupun sebagai caleg memang tidak sepenuhnya disebabkan kesalahan parpol.
Target 30 persen harus ada keterwakilan perempuan seperti yang diamanakan oleh UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Pemilu ternyata memang tidak semudah yang dibayangkan. Sulit merekrut perempuan untuk mau terlibat di dalam kepengurusan parpol.
“Selama ini ada anggapan bahwa dunia politik identik dengan cost yang besar dan dunianya laki-laki. Itu salah satu faktor mengapa perempuan enggan untuk terjun ke dunia politik,” ujarnya.
Anggapan ini muncul akibat adanya imej yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki.
“Faktor lain memang, selama ini banyak parpol yang terlalu mengabaikan peran perempuan. Keberadaan perempuan hanya dianggap sebagai komplementer saja dalam politik,” tambahnya.
Pengabaian peran perempuan dalam politik praktis selama ORBA dan di awal-awal reformasi tersebut membawa konsekuensi tidak hanya semakin meminggirkan perempuan dalam politik, akan tetapi berdampak signifikan kepada parpol itu sendiri, dimana sekarang masih sulit untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan.
Oleh karena itu, kata Jumadi, affirmative action agar kepengurusan parpol dan caleg harus memenuhi keterwakilan perempuan sebesar 30 persen tidak hanya menjadi tanggung jawab perempuan saja akan tetapi harus menjadi komitmen para elit politik.(ron)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ringgit Menguat, Tukang Dollar Mengeluh
Redaktur : Tim Redaksi