Parpol Protes Dipo Alam

Soal Data Kepala Daerah Berkasus

Senin, 01 Oktober 2012 – 06:20 WIB
JAKARTA - Hubungan Seskab Dipo Alam dengan kalangan parpol kembali memanas. Pemicunya, pengungkapan data izin pemeriksaan yang sudah dikeluarkan presiden untuk memeriksa kepala daerah yang bermasalah hukum sejak Oktober 2004. Menurut Dipo, ada 176 izin pemeriksaan.

Persoalannya, dia merilis dengan membuat persentase berdasar latar belakang parpol para kepala daerah yang bermasalah. Elite parpol pun meradang.

Juru bicara Golkar Nurul Arifin menilai, pernyataan Dipo tersebut tendensius dan provokatif. "Itu mengadu domba," tegasnya. Menurut Nurul, kepala daerah dan birokrat adalah bagian dari pemerintah. "Mereka pejabat negara. Ketika dilantik, atribut kepartaian yang melekat pada dirinya sudah ditanggalkan dan mereka menjadi bagian dari pemerintahan," kata Nurul kemarin (30/9).

Sabtu lalu Dipo mengungkapkan, sejak Oktober 2004, presiden mengeluarkan 176 izin pemeriksaan untuk mengusut kepala daerah yang bermasalah hukum. Sebanyak 74,43 persen di antaranya terkait dengan kasus korupsi.

Pejabat yang berlatar belakang parpol mendominasi dengan jumlah 92 persen. Lima yang terbanyak adalah Golkar (64 orang atau 36,36 persen), PDIP (32 orang atau 18,18 persen), Demokrat (20 orang atau 11,36 persen), PPP (17 orang atau 3,97 persen), dan PKB (9 orang atau 5,11 persen).

Menurut Nurul, kalau organ pemerintah melakukan korupsi, yang harus dipertanyakan adalah kemampuan leadership pemimpinnya yang tidak dapat mengendalikan perilaku koruptif tersebut. "Ini bukti ketidakmampuan pemerintah dalam mengawasi aparat di bawahnya," kecam anggota Komisi II DPR itu.

Nurul mengingatkan, Dipo adalah bagian dari pemerintah dan merupakan pejabat negara yang seharusnya mengoreksi kasus-kasus tersebut. Dipo dinilai hanya mencari panggung dengan menjual isu yang perkaranya belum jelas. Padahal, partai tidak berurusan dengan perkara-perkara korupsi di lingkup pejabat negara tersebut.

"Dipo tak perlu membawa-bawa partai. Tanyakan saja kepada pemerintah mengapa tidak dapat sanggup mengendalikan perilaku korup aparat di bawahnya," sindir Nurul.

Dia menilai, isu itu dimunculkan agar perhatian publik beralih dari kasus-kasus besar yang saat ini ditangani KPK dan meraih simpati publik. "Yang disebut Dipo tersebut baru penyidikan, penyelidikan, atau sudah vonis, itu pun tidak jelas," ucap Nurul.

"Bagaimana menjustifikasi bahwa itu korupsi. Apakah sudah sesuai dengan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau justifikasi dari Dipo saja?" lanjutnya.

Ditambahkan Nurul, Dipo tidak memiliki urgensi berbicara perkara yang bukan tupoksi atau wilayahnya. Menurut Nurul, itu menjadi wewenang Kemendagri. Mereka tidak pernah menyinggung soal partai menyangkut kepala daerah dan birokrat yang korup.

"Saya menyarankan, Dipo sebaiknya lebih hati-hati membuat statement. Ibarat menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri," ucap Nurul.

Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo juga mempertanyakan "laporan" Dipo kepada publik itu. Menurut Tjahjo, penyampaian opini soal kasus hukum pejabat daerah lengkap dengan latar belakang parpolnya merupakan perilaku berpemerintahan yang tidak lazim. Apalagi, para pejabat daerah merupakan bagian dari aparatur pemerintahan. Sebaiknya, kata Tjahjo, cukup disebut nama kepala daerah yang diindikasi terlibat masalah hukum beserta asal kabupaten, kota, atau provinsinya.

"Tidak elok jika disebut nama partainya. Apakah ini pesanan presiden atau inisiatif sendiri?" sindir Tjahjo. Dia lantas menyentil komitmen Presiden SBY yang selalu didengungkan untuk membangun iklim sejuk di pemerintahan dengan mitra-mitra politiknya. Tjahjo meminta SBY memberikan klarifikasi.

"Presiden perlu mengklarifikasi pernyataan Dipo tersebut. Tak perlu Dipo yang mengklarifikasi karena kita sudah paham arah politik pernyataan itu untuk apa dan ke mana," tegas anggota komisi I tersebut.

Sekitar seminggu lalu, Dipo juga membuat jengkel beberapa anggota dewan yang duduk di tim pengawas (timwas) Century. Hal tersebut terkait dengan penyerahan rekaman rapat pada 9 Oktober 2008 yang dipimpin SBY dengan agenda membicarakan penyelamatan Indonesia dari krisis.

Permintaan rekaman rapat itu kali pertama muncul dari DPR. Tepatnya dalam rapat timwas Century dengan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Antasari hadir dalam rapat tersebut. Dia juga yang belakangan "membocorkan" rapat itu kepada publik.

Namun, pemerintah justru langsung menyerahkan rekaman rapat tersebut kepada KPK. Bahkan, saat mengantarkan rekaman rapat kepada KPK, Dipo menyampaikan bahwa rekaman itu tak akan disampaikan kepada DPR. Menurut Dipo, pemerintah beralasan DPR bukan institusi penegak hukum. Gara-gara itu, Dipo mendapat "serangan" dari DPR. (bay/pri/fal/c8/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapal Celaka, DPR Bakal Cecar Menhub

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler