jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi merespons wacana Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang ingin mengadakan debat bakal calon presiden (bacapres).
"Ada yang bilang karena BEM UI mengundang dan menantang Bacapres bukan capres untuk debat, jadi boleh, karena tidak melanggar UU Pemilu dan tidak menggunakan UU Pemilu. Apakah benar boleh?" kata Teddy dalam keterangannya, Jumat (25/8).
BACA JUGA: Partai Garuda Ingatkan Mahasiswa Tak Boleh Mengundang Capres ke Kampus, tetapi
Dia menyebutkan dalam UU Pendidikan Tinggi diatur tentang Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan Otonomi Keilmuan.
Teddy menyebutkan kebebasan ini harus terbebas dari politik praktis.
BACA JUGA: Partai Garuda Beri Garansi jika Terpilih jadi Wakil Rakyat, Begini
"Jadi, dilarang untuk melakukan kegiatan politik praktis. Artinya debat bacapres di universitas atau mengatasnamakan universitas dilarang," lanjutnya.
Juru bicara Partai Garuda itu juga menyebutkan dalam UU Pendidikan Tinggi, mimbar akademik itu wewenang dari profesor atau dosen bukan mahasiswa atau organisasi mahasiswa.
"Makanya pernah digugat ke MK karena merasa ada pembatasan kewenangan untuk diskusi, seminar, dan kegiatan sejenisnya oleh mahasiswa, tetapi gugatan itu ditolak oleh MK," jelas Teddy.
Menurutnya, ketika menggunakan UU Pemilu yang bisa menyelenggarakan di kampus adalah pelaksana kampanye, bukan kampus, mahasiswa atau organisasi Mahasiswa.
"Ketika menggunakan UU Pendidikan Tinggi, yang menyelenggarakan adalah dosen atau profesor, bukan mahasiswa atau organisasi mahasiswa," tuturnya.
Dia menegaskan organisasi mahasiswa tidak boleh melaksanakan politik praktis dengan mengundang bacapres untuk berdebat. Hal itu sesuai UU Pendidikan Tinggi maupun UU Pemilu.
"Mereka adalah pihak yang seharusnya menerima pendidikan politik bukan yang memberikan pendidikan politik. Secara hukum atau aturan, pendidikan politik untuk urusan pemilu ada di Partai Politik dan Penyelenggara Pemilu," kata Teddy.
"Secara pengalaman, pemilu itu pelakunya adalah partai politik dan penyelenggara pemilu. Jadi, dilihat dari sisi hukum atau aturan dan kemampuan, tentu tidak layak jika yang seharusnya diberikan pendidikan politik malah memberikan pendidikan politik," pungkas Teddy.(mcr8/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra