Pasal Penghinaan Presiden Muncul lagi, Padahal Sudah Dibatalkan MK, Yasonna Jawab Begini

Rabu, 09 Juni 2021 – 14:56 WIB
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly. ANTARA/Muhammad Zulfikar

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menjawab kenapa pasal penghinaan presiden/wakil presiden muncul lagi dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP).

Mahkamah Konstitusi (MK) diketahui pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

BACA JUGA: Ribuan Personel Dikerahkan, Ketua KPU dan Bawaslu juga Turun

Pembatalan dilakukan setelah MK menerima permohonan uji materi yang diajukan Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.

MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

BACA JUGA: BNPT Segera Bertemu Para Tokoh Papua, Aksi Kekerasan Semoga Cepat Berakhir

Kini, pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden muncul kembali dalam RKUHP.

Menurut Yasonna, pasal penghinaan presiden yang diatur dalam RKUHP kali ini, berbeda dari sebelumnya.

BACA JUGA: Pilpres 2024: Pasangan ini Paling Ideal Dibanding Anies-AHY atau Ganjar-Erick

Yasonna menyebut pasal penghinaan yang diatur dalam RKUHP merupakan delik aduan.

Ia juga menyebut aturan ini sangat dibutuhkan di Indonesia.

"Saat ini aturan tersebut bedanya menjadi delik aduan. Kalau dibiarkan, ketika saya dihina orang, saya punya hak secara hukum untuk melindungi harkat dan martabat," ujar Yasonna dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR, di Jakarta.

Lebih lanjut Yasonna juga mengatakan, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP erbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia mengutarakan bahwa Indonesia akan menjadi sangat liberal, kalau tidak ada aturan terkait dengan penghinaan presiden/wapres.

Karena itu, harus ada batas-batas yang harus dijaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab.

"Misalnya, di Thailand lebih parah aturannya, jangan coba-coba menghina raja, urusannya berat. Bahkan, di Jepang dan beberapa negara hal yang lumrah," ujarnya.

Yasonna mencontohkan dirinya tidak masalah kalau disebut tidak becus dalam menangani lapas dan imigrasi karena itu adalah kritik terhadap kinerja.

Namun, lanjut dia, jangan sekali-kali menyerang harkat dan martabatnya, misalnya mengatakan dirinya sebagai anak haram jadah.

"Kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya misalnya dikatakan anak haram jadah, wah, di kampung saya tidak bisa. Dikatakan anak PKI, tunjukkan kalau saya anak PKI," katanya.

Ditegaskan pula bahwa keadaban harus tetap diutamakan masyarakat. Dengan demikian, mengkritik kebijakan presiden/wapres adalah hal yang wajar. Namun, ketika tidak puas, ada mekanisme konstitusi.

Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait penghinaan terhadap presiden/wapres diatur dalam BAB II Pasal 217—219.

Pasal 217 disebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri presiden/wapres yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Pasal 218 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219 disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden/wapres dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 220 Ayat (1) disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

Ayat (2) disebutkan bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden/wapres.(Antara/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler