jpnn.com - SURABAYA – Peluang pasar ekspor bioethanol terbilang menjanjikan dibandingkan dengan memasarkan di dalam negeri. Karena tidak direspons positif konsumen lokal, PTPN X memutuskan mengekspor bioethanol. Apalagi pasar gula di dalam negeri tengah lesu lantaran rendahnya harga.
PTPN X melalui anak usaha PT Energi Agro Nusantara (Enero) mengekspor bioethanol ke Filipina. Dalam tahap awal, perusahaan mendapatkan order 4.000 KL yang terbagi atas dua kali pengiriman. Bioethanol merupakan salah satu produk samping gula.
BACA JUGA: Optimistis Kuasai Pasar Hatchback
Dirut PTPN X Subiyono menyatakan, sejak pengoperasian pabrik ethanol oleh PT Enero, tidak ada realisasi pembelian di dalam negeri. Sebaliknya, permintaan berdatangan dari luar negeri.
’’Banyak yang mengatakan tentang pentingnya ketahanan energi, tetapi pemanfaatan bioethanol yang merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan masih rendah. Padahal, kita mengetahui realisasi produksi minyak terus menurun sejalan dengan menipisnya cadangan minyak bumi,’’ tuturnya di sela-sela ekspor perdana beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Hadapi Arus Mudik, Larang Karyawan Cuti
Selain Filipina, lanjut Subiyono, permintaan datang dari Korea Selatan, Taiwan, dan Belanda. Namun, realisasi baru terjalin dengan Filipina, sedangkan yang lain dalam penjajakan. ’’Semoga kontrak jual-beli bisa segera terealisasi meski ini sudah tidak sesuai dengan rencana awal dulu. Di mana pembangunan pabrik ini untuk ketahanan energi di Indonesia,’’ ungkapnya.
Sebagai tujuan ekspor, pasar Filipina sangat menjanjikan. Sebab, lanjut dia, Filipina sedang getol mencanangkan mandatory blending BBM E 10 alias kewajiban pencampuran 10 persen bioethanol dalam bahan bakar kendaraan. Selama ini kebutuhan bioethanol disuplai dari Thailand. Tetapi, Thailand kemudian menaikkan penggunaan bioethanol dari E 10 menjadi E 20 alias kewajiban pencampuran 20 persen bioethanol sehingga mereka mengurangi ekspor.
BACA JUGA: Banyak Aset BUMN Menggantung, Dahlan Prediksi Rp 50 Triliun
Dirut Enero Agus Budi Hartono menambahkan, potensi pasar bioethanol di dalam negeri sebenarnya jauh lebih besar daripada yang diproduksi. Kapasitas produksi pabrik bioethanol nasional 77.000 KL. Sementara itu, kewajiban pencampuran menurut perhitungan dibutuhkan bioethanol 120.000 KL. ’’Salah satu yang tidak sesuai adalah segi harga. Jadi, regulasi harga yang ditetapkan tidak cocok dengan keinginan produsen,’’ tutur Agus yang juga menjadi wakil ketua Asosiasi Spiritus dan Ethanol Indonesia itu.
Sebelumnya disebutkan bahwa harga bioethanol ditetapkan sekitar Rp 7.700–7.800 per liter. Sementara itu, di Thailand harga bioethanol bisa mencapai Rp 8.500 per liter. ’’Kebijakan di Indonesia juga kurang mendukung karena hanya level peraturan menteri. Berbeda dengan di Filipina yang sudah ada undang-undang khusus,’’ lanjut dia. (res/c19/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indeks Saham Kembali Menuju 5.000
Redaktur : Tim Redaksi