Pasar Kekurangan Suplai Obligasi

Selasa, 18 Februari 2014 – 10:12 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Penerbitan obligasi korporasi awal tahun ini berkurang cukup signfikan. Pada kuartal pertama terdapat sembilan perusahaan yang menerbitkan surat utang senilai 5,63 triliun. Emisi itu turun 65,6 persen dibandingkan Rp 16,40 triliun pada triwulan pertama 2013.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sembilan perusahaan itu adalah PT Gading Development Tbk (Rp 1 triliun), PT Pengembangan Pariwisata Bali (Rp 200 miliar), Kontrak Investasi Kolektif EBA BMRI 01 (Rp 685 miliar), PT Toyota Astra Financial Services (Rp 600 miliar), dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Rp 1 triliun).

BACA JUGA: Penukaran Uang Untung Besar

Lalu, PT BFI Finance Indonesia Tbk (Rp 500 miliar), PT Ciputra Residence (Rp 500 miliar), PT Siantar Top Tbk (Rp 500 miliar), dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (Rp 650 miliar).

Pada kuartal pertama 2013 tercatat sebelas perusahaan menerbitkan obligasi. Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ronald T Andi Kasim mengatakan, penyebab utama menurunnya nilai emisi obligasi adalah faktor kekhawatiran melambatnya perekonomian yang sudah terasa sejak semester kedua 2013.

BACA JUGA: Belarusia Lirik Kontruksi Tanah Air

"Mereka (perusahaan) juga lebih melihat kenaikan suku bunga acuan oleh BI (Bank Indonesia) sejak pertengahan tahun lalu. Kita berharap kalau ekonomi kita ada perbaikan, emisi obligasi juga membaik. Mudah-mudahan di kuartal kedua atau setelah semester kedua tahun ini," tuturnya.

Dia mengatakn, dampak faktor politik seperti perhelatan Pemilu tidak terlalu besar. Imbasnya hanya lebih kepada pengaturan momentum saja. "Bukan ke faktor risiko politik," ujarnya.

BACA JUGA: Produksi Minyak Terus Memburuk

Ronald berharap setelah ini akan lebih banyak lagi korporasi menerbitkan obligasi. Sebab, permintaan di pasar cukup besae Dalam catatan Pefindo akan ada jatuh tempo obligasi korporasi senilai Rp 39 triliun tahun ini.

"Jadi investor pasti mencari karena mereka harus tetap menyalurkan kembali dananya untuk investasi lanjutan. Mereka butuh karena tetap harus diversifikasi portofolionya ke obligasi korporasi dan reksa dana pendapatan tetap," katanya.

Menurut dia, investasi di produk itu sedang dalam situasi undersupply atau kekurangan pasokan.  Dengan demikian penerbitan obligasi akan berpotensi diserbu investor. "Potensinya akan terserap dengan baik," ujarnya.

Ronald berharap BI tidak lagi menaikkan lagi BI Rate. Sebab, jika itu terjadi penerbitan obligasi berpotensi kian sepi. Akibatnya pasar semakin kekurangan pasokan produk investasi. "Kalau BI Rate naik, dia (perusahaan) akan berhitung lagi karena cost of fund-nya jadi lebih berat," tuturnya.

Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono mengatakan, imbal hasil atau yield obligasi korporasi lebih tinggi dibandingkan surat utang negara (SUN) sehingga dinilai lebih menarik. Hanya saja, likuiditasnya masih rendah karena produknya jauh lebih sedikit. Obligasi korporasi juga jarang sekali ditransaksikan di pasar sekunder.

"Buy and hold obligasi korporasi cukup tinggi. Maka rata-rata transaksinya (di pasar sekunder) terus turun," katanya.

Beberapa hal yang akan memengaruhi penerbitan surat utang termasuk obligasi korporasi di tahun ini, menurut dia, adalah tapering off di AS yang bisa mendorong kenaikan yield US Treasury. Hal itu akan memicu hengkangnya dana asing dari emerging market untuk balik ke Negeri Paman Sam.

"Pertumbuhan eknomi Indonesia juga diperkirakan turun ke kisaran 5,8 persen sampai 6,2 persen terkait rencana BI untuk menyehatkan defisit neraca perdagangan," katanya.

Selain itu peluang kenaikan BI rate masih terbuka karena inflasi yang masih cukup tinggi di awal tahun ini. "Kalau BI rate naik, berapapun kenaikannya akan berdampak yield melambung dengan spread hingga 1,5 persen," katanya. (gen/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jalankan Program Umroh, Direksi Merpati Izin ke Menhub


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler