JAKARTA – Untuk menyukseskan Pasar Timah Indonesia (PTI), pemerintah perlu mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Hal tersebut perlu dilakukan untuk memaksa pengusaha timah menjual produknya di dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Dirjen Minerba ESDM) Thamrin Sihite menyatakan, pihaknya mendukung aturan yang bisa mendorong pasar timah dalam negeri lebih meningkat. Namun segala pra syarat harus dipenuhi agar PTI mampu bersaing. "Saya pikir standarisasi untuk timah di dalam negeri menjadi penting" ungkapnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Mineral Batubara Thabrani Alwi menuturkan, regulasi PTI perlu didorong melalui Kementerian Perdagangan. Aturan tersebut bisa berupa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mewajibkan semua produsen timah domestik menjual produknya melalui PTI.
Thabrani juga meyakini PTI bisa mendorong penciptaan lapangan kerja baru disamping meningkatkan pendapatan negara, karena produk yang dipasarkan sudah memiliki nilai tambah (added value). ”Langkah pembentukan PTI sudah sesuai dengan Permen ESDM No 7/2012 yang melarang perusahaan pertambangan mengekspor produknya dalam bentuk bahan mentah,” tambahnya.
Adanya regulasi seperti Permendag untuk memaksa seluruh pengusaha timah domestik menjual produknya melalui pasar timah indonesia, sudah semakin mendesak. Terutama ketika peningkatan royalti yang diperoleh pemerintah dari ekspor timah tidak dimbangi oleh tanggung jawab merehabilitasi lahan bekas tambang oleh para pengusaha timah. Ini dinyatakan oleh anggota Lembaga Cegah Kejahatan Indonesa (LCKI)-Babel Bambang Herdiansyah ketika menanggapi Pernyataan Kepala DPP-KAD Bangka Belitung Iskandar Zulkarnain mengenai perolehan royalti Pemprov Babel dari ekspor timah pada 2011 yang mencapai Rp 131,71 miliar seperti yang diberitakan sebelumnya.
Menurut Bambang, jika dihitung berdasarkan perolehan royalti yang diterima Pemprov Babel sebesar Rp 131,71 miliar, maka total royalti yang diterima negara sebesar Rp 823,18 miliar. Angka ini menjelaskan bahwa ada ekspor timah dari Babel sebesar Rp 823,18 miliar. Royalti sebesar Rp 823,18 miliar merupakan hasil kali dari nilai total ekspor timah dengan 3 persen, sehingga diperoleh nilai total ekspor timah dari Babel sebesar Rp 27,43 triliun. Padahal menurut laporan tahunan PT Timah (Persero) Tbk pada 2011, nilai ekspor timah perusahaan tersebut hanya sebesar Rp 7,98 triliun, berarti sisanya sebesar Rp 19, 45 triliun diekspor oleh perusahaan lain, termasuk PT Kobatin.
Dikatakan Bambang, gabungan perusahaan lain ditambah PT Kobatin tidak mungkin bisa mengekspor timah yang nilainya melebihi ekspor yang dilakukan oleh PT Timah (Persero) Tbk mengingat wilayah usaha pertambangan yang dimiliki oleh PT Kobatin dan gabungan perusahaan lain sangat kecil, sehingga hasil ekspor sebesar Rp 19, 45 triliun seharusnya dipertanyakan dari mana asal-usul barangnya.
”Perusahaan swasta memang membayar royalti, tetapi tanggung jawab perusahaan pertambangan timah tidak berhenti setelah membayar royalti, karena masih harus mereklamasi lahan bekas tambangnya. Di sinilah perlunya asal-usul barang yang diekspor karena dengan begitu menjadi jelas siapa yang harus mereklamasi lahan bekas tambangnya” tegas Bambang.
PT Timah (Persero) Tbk di dalam Laporan Tahunan 2011, mencatatkan telah memberikan kontibusi kepada pemerintah sebesar Rp 1,07 triliun, angka ini meningkat atau lebih tinggi dari 2010.
Kontribusi tersebut sudah termasuk royalti sebesar Rp 237,97 miliar, Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Rp 446,73 miliar, pajak Bumi dan Bangunan Rp 25,54 miliar, Iuran Izin Usaha Pertambangan Rp 17,140 miliar, Kontribusi produksi Rp 31,08 miliar, Dividen Rp 308,07 miliar, dan Bea Materai/ Bea Masuk Rp 429 juta. Menanggapi laporan tahunan PT Timah tersebut, Bambang meragukan perusahaan lain turut memberikan kontribusi yang sama meskipun nilai ekspornya melebihi PT Timah (Persero) Tbk. (lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Trimagama Belum Batalkan Pembelian Sukhoi
Redaktur : Tim Redaksi