Presiden Jokowi dinilai tak terlalu mempedulikan kekhawatiran internasional tentang dampak eksekusi mati. Tapi baru-baru ini, kondisi pasar saham Indonesia menunjukkan sinyal yang jelas akan badai internasional yang tak akan mampu dihindari.
Penurunan indeks utama sebesar hampir 7% di Indonesia pada akhir pekan lalu, yakni waktu yang bersamaan dengan eksekusi sejumlah warga asing, tak dilihat sebagai tanda sentimen investor atas kebijakan keras sang Presiden.
BACA JUGA: Pengiriman Kembali Dubes Australia ke Jakarta Belum Ditentukan
"Terus terang saya pikir, dalam hal investasi, ini bukanlah tentang eksekusi. Terlepas dari semua kejadian dan opini yang beredar, kondisinya sangat tangguh bagi hubungan yang sudah dijalin oleh perusahaan Australia,” ujar Ross Taylor, Presiden ‘Indonesia Institute’ yang berbasis di Perth.
Kondisi pasar menyiratkan bahwa para investor khawatir apakah Presiden Indonesia Joko Widodo memiliki ketangguhan untuk melaksanakan reformasi yang diperlukan. (Foto: CNN)
BACA JUGA: 1 Jam Hisap Shisha Setara dengan Hirup Asap 50-100 Batang Rokok
Namun, penarikan senilai lebih dari 500 juta dolar (atau sekitar Rp 6,25 triliun) selama enam sesi perdagangan adalah tembakan peringatan bahwa investor semakin peduli apakah presiden memiliki ketangguhan untuk melaksanakan reformasi yang diperlukan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menumbuhkan lapangan pekerjaan.
Beberapa konglomerat besar Indonesia melaporkan laba yang lebih rendah, termasuk Astra International, yang melaporkan 16% penurunan di kuartal pertama pada penjualan mobil dan harga komoditas yang lebih rendah.
BACA JUGA: Bakteri Zombie Bisa Sembuhkan Luka
Salah satu pelaku pasar yang dominan, yakni pembuat mie instan ‘Indofood Sukses Makmur’, juga melaporkan pendapatan yang lebih rendah, sebuah sinyal bagi negara yang bergantung pada belanja konsumen untuk pertumbuhan ekonominya.
Di sisi lain, salah satu produsen barang-barang konsumen terbesar, yakni Unilver Indonesia, telah mencatat perkiraan penjualan dan keuntungan yang lebih baik.
"Minggu itu adalah titik balik. Realitasnya menurut saya, investor memiliki harapan besar sebelum musim pendapatan perusahaan dan itu telah mempertahankan indeks,” jelas kepala penelitian ‘DBS Vickers Securities’, Maynard Arif.
Maynard mengatakan, pekan lalu adalah satu minggu di mana para investor ‘menjadi lebih gugup dan melihatnya sebagai sebuah tanda untuk memangkas posisi mereka’.
Investor tak yakin Jokowi miliki dukungan politik untuk lanjutkan reformasi
Indonesia menghadapi pertumbuhan paling lambat dalam lebih dari lima tahun terakhir, dan prediksi yang ada sekarang bergerak menuju pertumbuhan kurang dari 5%.
"Ada derajat kekhawatiran konsumen yang cukup besar di luar sana dan kita melihatnya dalam angka," sebut Ross.
Maynard mengatakan, investor asing telah menyadari bahwa situasinya tak ‘semerah’ awal tahun.
Para investor mencari sejumlah tanda bahwa Presiden Jokowi bisa terus maju dengan sejumlah proyek infrastruktur utama untuk lebih menghubungkan pulau-pulau melalui jalan baru, pelabuhan, pembangkit listrik dan bandara, dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih ramah-investor.
"Saya pikir,pembicaraan tentang infrastruktur sangat penting. Masalah yang dimiliki negara ini adalah untuk membangun infrastruktur agar membantu kelancaran aktivitas ekonomi,” kata analis Kevin Evans.
Pengamat Indonesia mengatakan, para investor tetap tak yakin apakah presiden memiliki koordinasi kebijakan dan dukungan politik untuk menjalankan reformasi yang diperlukan.
"Saya pikir kami sedang mencari beberapa arahan dari pemerintah. Perlu beberapa waktu bagi istana untuk menyelesaikan dan itulah apa yang kami cari," sebut Kevin.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah 10 Daerah Dengan Penduduk Paling Gemuk di Australia