jpnn.com - SIANTAR - Kegaduhan terjadi RSUD Djasamen Saragih, Kota Siantar, kemarin (16/2). Ini dipicu meninggalnya seorang pasien BPJS bernama Menaria Saragih Garingging (77).
Pihak keluarga protes keras, menuding Menaria meninggal karena ditelantarkan hingga 8 jam. Tangisan histeris bercampur umpatan marah terlontar dari keluarga korban.
BACA JUGA: Kasus Model Bugil, Peralatan Fotografer Disita
Sore sekitar pukul 16.00 WIB, saat Metro Siantar (Grup JPNN) tiba di rumah sakit tersebut, terlihat jelas ekspresi marah dari wajah anggota keluarga dan rekan pasien. Sebagian tampak tersedu dan histeris.
“Ini rumah sakit yang tak bertanggung jawab. Jangan karena pasien BPJS, kalian telantarkan. Kalau memang mau dibayar, bilang. Jangan kalian telantarkan seperti ini. Sekarang sudah mati orangnya,” teriak Ondo Sinaga (34), anak pasien tersebut, di ruang jaga para perawat.
BACA JUGA: Payah... RS Tak Punya Genset, Gaji OB Rp 300 Ribu
Saat Ondo berteriak, sebagian keluarga yang lain memukul dan menendang pintu di kamar pasien. Mereka membentak para perawat yang ada ruang jaga paviliun itu. Dua orang perawat yang ada di ruangan tersebut, tidak bisa memberi penjelasan sedikitpun. Perawat dengan raut wajah ketakutan, hanya diam dan tertunduk.
Ondo kembali berteriak. Dengan wajah yang memerah dan berlinang air mata, Ondo berulang-ulang mengatakan hal serupa dengan nada yang sangat keras. Begitu juga dengan keluarga yang lain, juga turut mengucapkan sumpah serapah sembari memukul dan menendang meja berulang-ulang.
BACA JUGA: Baru Jalani Hukuman 8 Bulan, Napi Kasus Korupsi Meninggal
Tak seorangpun keluarga pasien yang lain menenangkan pria berambut ikal ini. Mereka hanya mengamati Ondo sembari ikut mengutuk dengan suara yang tak begitu keras.
Sekitar 15 menit kegaduhan berlangsung, dr Haposan, yang merupakan dokter jaga di Paviliun B keluar dari ruangannya, yang jaraknya sekitar 20 meter dari kamar pasien.
Dia mencoba menenangkan keluarga pasien dengan membawa mereka ke kamar rawat korban. Saat itu dr Haposan mengatakan bahwa pihak rumah sakit tidak menelantarkan korban. Dia mengklaim, pihaknya sudah melakukan tindakan sesuai prosedur.
“Dari awal kan dia di IGD. Dibawalah ke ruang inap. Sesuai petunjuk dokter IGD, dia kan harus ditangani dokter spesialis. Kami kan nggak bisa memaksa dokter itu datang segera. Tapi kan datang juga. Tidak ada penelantaran,” jelas dr Haposan.
Namun, keterangan dr Haposan malah kembali menyulut kemarahan keluarga pasien. Seketika mereka kembali marah hingga menendang pintu dan meja di kamar rawat berukuran 4 x 3 meter tersebut.
Sementara sebagian keluarga yang lain terlihat terus menangis seakan tak memperdulikan keributan di sebelahnya. Namun, kali ini, beberapa keluarga yang lain coba menenangkan keluarga lainnya.
Mereka meminta agar lebih tenang supaya tak mengganggu pasien lainnya. dr Haposan juga turut meminta agar keluarga tenang. Namun, saran dokter umum itu membuat mereka semakin marah.
Ketegangan sedikit mereda saat Rasyidin, keponakan korban, datang dan meminta semua keluarga untuk tenang. Dia juga meminta para perawat dan dokter mempersiapkan segala sesuatunya agar pasien dibawa ke rumah duka di Jalan Mahoni, Kelurahan Kahean, Siantar Utara.
Seketika keluarga lainnya tenang dan selanjutnya pasien dibawa ke ruangan forensik untuk disuntik formalin sebelum diantarkan ke rumah duka.
Saat dibawa dari ruang inap ke ruangan forensik yang berjarak sekitar 200 meter, keluarga masih terus menangisi jenazah sembari memeluk dan menciumi korban. Sementara, Ondo Sinaga yang diwawancarai Metro Siantar mengatakan bahwa dirinya sangat marah karena pihak RSU Djasamen telah menelantarkan ibunya.
Dia menceritakan, awalnya, sekira pukul 04.30 WIB, ibunya mendadak tak sadarkan diri dan menderita sesak nafas, sehingga mereka membawanya ke RSU Djasamen Saragih.
Di rumah sakit milik pemerintah tersebut, mereka langsung ke IGD dan pasien mendapatkan perawatan hingga pukul 07.00 WIB, sebelum dipindahkan ke ruang rawat. “Jadi, di IGD itu mereka hanya memberikan infus saja dan tidak memberikan oksigen hingga di kamar rawat,” jelasnya.
Setelah di kamar rawat, si pasien juga tidak mendapatkan perawatan yang maksimal. Sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB, ibunya tidak diperhatikan sama sekali. Perawatpun tak pernah datang melihat kondisi pasien.
Lalu, sekira pukul 11.00 WIB, dokter spesialis penyakit dalam, yakni dr Namso, datang memeriksa ibunya. “Di situ, dibilang dokter itu ibuku ada penyakit di jantung dan paru. Tahunya mereka ada sakit di paru, tapi tidak dikasih juga oksigen,” katanya.
Setelah itu, meski telah diperiksa, dokter tersebut tak memberi obat kepada ibunya, melainkan meninggalkan ibunya begitu saja. “Sudah aku minta obatnya, tapi perawat itu bilang sabar,” imbuh Ondo.
Selepas dr namso meninggalkan ruangan, pasien tak kunjung sadarkan diri. Dan, pukul 15.00 WIB, pasien menghembuskan nafas terakhirnya. “Siapa yang nggak marah. Mereka pikir kami tidak bisa bayar? Kalau memang mau dibayar, kami akan bayar,” katanya.
Atas peristiwa tersebut, Ondo mengatakan bahwa mereka tidak akan menuntut biaya ganti rugi atas ibunya, namun ia meminta pihak rumah sakit tersebut tidak mengulanginya kepada pasien lainnya agar tidak ada korban seperti ibunya. “Kami tidak minta ganti rugi. Pelayanan itu harus mereka perbaiki,” tandasnya.
Sementara di rumah duka, puluhan warga tampak memenuhi rumah bercat putih-coklat tersebut. Silih berganti warga datang melayat. Sementara, anak, menantu dan cucu almarhum tak henti-hentinya menangis, memeluk dan mencium jenazah almarhum.
Almarhum Menaria meninggalkan 10 orang anak, 24 cucu dan 2 orang cicit. Sementara, terkait pemakaman almarhum, masih menunggu kesepakatan keluarga. (mag-01/aar)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terpeleset, Nenek Kecemplung Sumur
Redaktur : Tim Redaksi