jpnn.com, JAKARTA - Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito memastikan vaksin pencegah penyakit virus corona yang akan disuntikkan kepada masyarakat sudah melalui beberapa tahap uji klinis hingga dinyatakan aman.
"Vaksin yang nantinya masuk ke Indonesia harus dipastikan secara data dan penelitian aman bagi masyarakat. Pengembangan vaksin umumnya butuh waktu dan proses yang cukup panjang," ujar Wiku dalam akun Sekretariat Presiden di YouTube yang dikutip pada hari ini (7/10).
BACA JUGA: Kasus Covid-19 di Indonesia Peringkat 137 Dunia, Wiku Adisasmito: Cukup Baik
Saat ini pemerintah tengah mengembangkan Vaksin Merah Putih di dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga bekerja sama dengan negara lain dalam rangka pengadaan vaksin untuk Covid-19.
Pemerintah menargetkan vaksin Covid-19 tersedia untuk masyarakat pada 2021 mendatang. Saat ini pemerintah pun sedang berupaya menyelesaikan uji klinis vaksin yang nantinya akan disuntikkan pada jutaan masyarakat Indonesia.
Untuk vaksin dari Sinovac Biotech, Tiongkok masih dalam uji klinis fase 3 oleh Bio Farma di Bandung. Adapun Kimia Farma yang menggandeng G42 Healthcare dari Uni Emirat Arab (UEA) telah meakukan uji klinis tahap 3 terhadap 22 ribu orang.
BACA JUGA: Iman, Aman dan Imun jadi Vaksin Covid-19
BACA JUGA: Satgas Covid-19 tak Pengin Ada Klaster Baru dari Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja
Selanjutnya, PT Kalbe Farma yang bekerja sama dengan Genexine dari Korea Selatan telah melakukan uji klinis fase 1 dan 2A atas vaksin Covid-19.
Tahapan uji klinis itu dimulai dengani penelitian dasar tentang penelusuran mekanisme potensial berdasarkan ilmu sains biomedis. Selanjutnya, vaksin akan dibuat dalam jumlah terbatas untuk bisa memasuki uji praklinis dan uji klinis tahap 1, 2 dan 3.
Dalam tahap uji praklinis, ilmuwan melakukan studi in vitro dan in vivo untuk mengetahui keamanan vaksin bila diujikan pada manusia. Setelah itu baru memasuki uji fase 1 di mana vaksin diberikan pada sekelompok kecil orang untuk melihat respons imunitas dan kekebalan yang dipicu.
Pada fase 2, tutur Wiku, vaksin diberikan kepada ratusan orang sehingga para ilmuwan dapat mempelajari lebih lanjut tentang dosis yang tepat.
Adapun pada fase 3, vaksin diberikan kepada ribuan orang untuk memastikan keamanannya, termasuk efek samping yang jarang terjadi dan keefektifannya.
"Uji coba ini melibatkan kelompok kontrol yang diberi plasebo, artinya kelompok kontrol adalah masyarakat yang disuntik tetapi tidak dengan vaksin," kata Wiku.
Melalui proses uji klinis itulah ilmuwan dapat mengetahui apakah vaksin menimbulkan efek samping atau tidak. Sebab, belum ada bakal vaksin Covid-19 yang lulus uji klinis tahap 3.
Wiku juga menjelaskan soal risiko antibody dependant enhancement (ADE), yaitu suatu kondisi reaksi tubuh karena antibodi melawan antigen berupa virus atau bakteri. Terkait efek samping tersebut, sejauh ini hanya ditemukan pada penyakit dengue dan sejenisnya dan tidak pada virus lain.
Fenomena ADE hanya terlihat pada Middle East respiratory syndrome (MERS), severe acute respiratory syndrome (SARS), Ebola, dan HIV yang semata-mata ditemukan in silico dan in vitro, dan tidak menggambarkan fenomena di manusia.
Fenomena ADE untuk SARS-CoV-2, sambung Wiku, sudah diselidiki sejak percobaan praklinis hingga dinyatakan aman dan baik. Namun karena adanya perbedaan antara hewan percobaan dan manusia, tentu risiko ADE pada manusia harus diinvestigasi.
Oleh karena itu, bakal vaksin harus melalui seluruh tahap uji klinis. Jika sudah lolos fase 3 dan menunjukkan laporan yang baik, kandidat vaksin bisa dimintakan persetujuan edar dari lembaga pengawas.
"Pemerintah dalam hal ini tidak akan terburu-buru dan berpegang teguh pada data hasil uji," tegas Wiku.
Menurut WHO, data per 2 Oktober 2020 mengungkap 10 institusi yang telah melakukan uji klinis tahap 3 atas kandidat vaksin.
Data WHO Draft Landscape of Covid-19 Candidate Vaccines mencatat ke-10 institusi itu ialah Sinovac, Wuhan Institute of Biological Product atau Sinopharm, Johnson Pharmaceutical Companies, Kansino Biologic Incorporated atau Beijing Institute of Biotechnology, Gamalea Research Institute, Beyond Tech atau Fossum Pharmaficer, University of Oxford atau Astrazeneka, Novavac, Moderna atau NIAID dan Beijing Institute of Biological Product atau Sinopharm.(tan/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga