Angkatan Udara Australia (RAAF) telah mengungkap bahwa pihaknya telah mengirim ‘sedikit’ lebih banyak patroli di atas Laut China Selatan yang disengketakan tahun lalu, dan kini, mereka sering ditantang oleh militer China.
Menurut data Departemen Pertahanan Australia, sebanyak 30 operasi "kebebasan navigasi" RAAF operasi dilakukan di wilayah bersengketa tersebut dalam 12 bulan terakhir, sebuah peningkatan dibanding beberapa tahun belakangan.
BACA JUGA: Ganja Sintetis Diujicobakan Sebagai Obat Epilepsi Anak di Australia
Marsekal Udara Leo Davies dari RAAF mengatakan, karena Beijing meningkatkan kegiatan reklamasi lahan di wilayah itu, militer China memiliki kehadiran yang lebih besar di sana.
Ia mengatakan, hal itu, kini, tengah dirasakan oleh pesawat Australia yang berpatroli di wilayah tersebut.
BACA JUGA: Penderita Infeksi Virus Zika Disarankan Tak Berhubungan Seks 6 Bulan
Marsekal Leo mengatakan, tak seperti masa lalu, "hampir semua" pesawat pengintai dalam ‘Operasi Gateway’ baru-baru ini telah ditantang. Tapi ia bersikeras RAAF akan terus berpatroli karena mereka sejalan dengan hukum internasional.
"Apa yang sekarang kami temukan adalah, tentu saja, adanya beberapa pos yang sekarang berawak, sehingga kemana pun patroli Gateway normal kami berjalan, kami sekarang menemukan ada peningkatan jumlah lokasi di mana tantangan akan terjadi," ungkapnya.
BACA JUGA: Orangutan di Kebun Binatang Melbourne Ini Pandai Bermain Video Game Xbox
Tantangan dari militer China muncul dalam siaran radio yang memberitahu pilot RAAF bahwa mereka dekat dengan wilayah China dan harus menjauh.
Pada bulan Desember, rekaman radio dari pesawat pengintai RAAF –yang melakukan penerbangan ‘kebebasan navigasi’ atas di Laut China Selatan -muncul untuk pertama kalinya.
Departemen Pertahanan Australia menjelaskan Operasi Gateway sebagai "Kontribusi abadi Australia bagi pemeliharaan keamanan kawasan dan stabilitas di Asia Tenggara."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cangkir Kopi Sekali Pakai jadi Limbah Terbesar Kedua Setelah Botol Plastik