Pawang Hujan Gelar Ritual Bisa Jarak jauh, tak Harus Datang ke Lokasi Acara

Sabtu, 27 April 2019 – 13:12 WIB
Mendung. Ilustrasi Foto: Gusti Ambri/dok.JPNN.com

jpnn.com - Jasa pawang hujan tak lekang oleh waktu, meski secara ilmiah belum ada kajian bagaimana seseorang mampu memecah awan atau memindahkannya.

Laporan: Muhammad Rizki, Dina Angelina, Raden Roro Mira

BACA JUGA: Konser Putih Bersatu: Ada Pawang Hujan Bertugas Geser Mendung di Atas SUGBK

Langit mulai gelap, begitu pula angin yang menandakan rintik air siap turun membasahi lokasi acara. Sekelompok pria ini terus memantau langsung dari venue yang tak asing di Kota Minyak, Balikpapan, Kaltim.

Sesekali menatap jam tangan. Resah karena jarum jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Jadwalnya penampilan band lokal. Sementara pertunjukan utama dari artis ibu kota masih satu jam mendatang.

BACA JUGA: Menikah di Candi Borobudur, Vicky Shu Siapkan Pawang Hujan

Tim mulai waswas, terus berdoa dan memohon kepada Tuhan agar hujan tak turun hingga acara berakhir. Mereka seakan beradu cepat antara waktu penampilan dan hujan. Tepat setelah sang artis melantukan lagu terakhir dan pamit, hujan baru turun perlahan. Seiring dengan para penonton yang pulang dengan rasa senang.

Begitulah kurang lebih gambaran Agus dan kawan-kawan saat harus membantu “mengamankan” hujan untuk sebuah acara. Berangkat dari hobi yang berbau spiritual, mereka mempelajari beragam hal termasuk soal hujan. Mereka pun mengelak jika dikatakan sebagai pawang hujan.

BACA JUGA: Disaksikan Para PNS, Bawa Keris Mulut Komat-kamit

BACA JUGA: Konser Putih Bersatu: Ada Pawang Hujan Bertugas Geser Mendung di Atas SUGBK

Apalagi ini bukan profesi bagi mereka. Hanya mengisi waktu dan menyalurkan ketertarikan terhadap budaya. Tepatnya menggali lebih dalam peradaban leluhur. “Bahasa pawang hujan ini seram, seakan-akan bisa mengendalikan hujan. Padahal bukan begitu,” ucapnya.

Menurut dia, pada zaman modern sekarang ini banyak masyarakat yang salah persepsi soal arti pawang hujan. Ada anggapan manusia yang punya kemampuan menolak hujan. Menilainya seperti keberadaan manusia melawan Tuhan. Sesungguhnya jauh dari itu.

Agus bercerita, mereka hanya memohon agar tidak hujan pada waktu tertentu. Jika terjadi hujan, dia memohon kepada sang Ilahi agar hujan bisa turun sebelum atau sesudah acara. Dia menuturkan, kunci kekuatannya terletak saat memohon kepada Tuhan.

Biasanya dia dan tim hanya melantunkan doa dan salat. Tidak butuh ritual hingga sesajen tertentu. Ibaratnya ada yang manusia bisa bicara dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan. “Saya memohon, jika diizinkan, hari ini diberikan cuaca yang cerah selama acara,” imbuhnya.

Namun, dia mengakui, kenyataannya memang ada sebagian orang yang perlu menggunakan metode berbeda. Mulai puasa, meditasi, hingga sesajen.

“Kami hormati dan akui memang ada begitu. Ini budaya dan peninggalan peradaban dulu yang sudah canggih,” sebutnya. Menurutnya, media yang digunakan hanya untuk menambah keyakinan si pemohon.

Contoh ada yang menggunakan bawang merah, bawang putih, dan cabai yang ditanam di lokasi acara agar tidak hujan. Kemudian sambil berdoa memohon kepada Tuhan. Ketika hujan benar-benar tidak turun, tentu semua berasal dari keyakinan yang sungguh-sungguh memohon agar tidak hujan. Tidak ada hubungan dengan media itu.

“Media yang tadi dibawa itu mungkin hanya untuk membuatnya lebih percaya diri dan nyaman,” sebutnya. Dia tidak memungkiri, semua bagian dari peradaban zaman dahulu. Setiap orang memiliki cara dan metode yang berbeda dalam memohon turunnya hujan. Tentu sesuai adat istiadat setiap daerah tersebut.

Kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group), Agus mengatakan, kemampuannya ini bermula dari rasa kagum dan penasarannya. Mengapa orang dulu hebat dan pandai dalam hal spiritual, salah satunya masalah hujan. Sehingga mereka menggali dan belajar. Tidak sembarangan juga. Mereka belajar dari ahli-ahli di berbagai daerah sampai bedah buku.

“Ini peninggalan peradaban yang unik membuat penasaran. Kami semua tertarik dalam budaya,” sebutnya. Dia berpendapat, tanpa disadari sesungguhnya semua orang bisa mengendalikan hujan. Contohnya saat melakukan perjalanan dengan pesawat terbang. Setiap orang akan berdoa agar diberikan cuaca yang baik.

Namun, tidak jarang dalam perjalanan dihadapkan dengan cuaca buruk. Sehingga membuat seluruh penumpang berdoa memohon diberikan cuaca cerah. Terlepas dari berbagai agama yang mereka anut. Tiba-tiba setelah berdoa, terbukti langit bisa cerah. “Jadi saat ada hajatan, kenapa tidak meminta? Soal hujan ini tinggal keyakinan memohon kepada Tuhan,” bebernya.

Meski memang tidak sederhana itu juga. Tetap semua ada perhitungan seperti melihat kondisi cuaca beberapa hari terakhir. Kemudian memohon kepada Tuhan, sebagai seorang muslim dengan salat dan berdoa. Mereka merasa nyaman dengan cara seperti itu. Sehingga tidak perlu metode tertentu.

“Bukan berarti juga tidak hujan sama sekali, semua tetap kuasa Tuhan. Tapi kami sudah berusaha dengan berdoa,” ujarnya.

Agus mengaku, kegiatannya ini bukan sebuah profesi. Mereka tidak pernah menargetkan atau menentukan tarif. Semua menjalaninya sebagai hobi, bukan komersial atau ladang cari nafkah. Apalagi mereka masing-masing punya pekerjaan utama.

BACA JUGA: Disaksikan Para PNS, Bawa Keris Mulut Komat-kamit

Namun, niatnya untuk membantu mereka yang butuh. Mulai hajatan pernikahan, event olahraga, sampai konser. Dia bercerita, jarang mau membantu untuk proyek. Sebab akan membutuhkan waktu lama dan panjang. “Saya takut, kita tidak bisa memohon untuk menahan hujan terus. Karena hujan juga ada yang membutuhkan,” katanya.

Sensasi dan tantangan akan terasa saat mendekati acara alias prime time. Apalagi jika muncul awan-awan gelap pertanda hujan. Momen panik yang harus mereka rasakan dan lewati. Kuncinya tetap harus terus menjalin komunikasi dengan panitia acara. Jika terlihat mendung segera beri tahu kepada panitia. Misalnya saat loading barang dan acara berlangsung.

“Saya beri tahu misalnya 10–15 menit mau turun hujan, jadi panitia bisa bergegas. Sehingga saat momen hujan turun kegiatan sudah selesai dan aman,” ujarnya. Agus menambahkan, proses memohon agar hujan tidak turun ini juga bisa dilakukan di mana saja. Tidak pasti harus turun ke lokasi acara.

Apalagi berdoa bisa di mana saja. Misalnya di rumah ibadah dekat lokasi tersebut. Mereka bisa salat dan berdoa di sana. “Doanya pun tidak perlu panjang, tapi bagaimana tingkat keyakinannya dan sungguh-sungguh meminta kepada Tuhan. Semua bergantung itu,” ungkapnya.

Bahkan, Agus dan tim sering membantu mengamankan acara yang lokasinya sangat jauh dari Balikpapan. Mereka memohon secara jarak jauh, tidak perlu turun ke lokasi acara. Ada berbagai tempat acara antara lain Bali, Lombok, Surabaya, dan Kupang.

Hal ini sekaligus membuktikan bahwa dia tidak perlu melakukan ritual khusus di lokasi acara. “Cukup mengandalkan niat, doa, dan keyakinan memohon kepada Tuhan agar tidak turun hujan sementara acara berlangsung,” sebutnya.

Walau harus ke luar daerah, tim ini juga mengajak orang yang memiliki kemampuan sama di daerah tersebut. Mereka saling komunikasi, sharing pengetahuan, dan terbuka.

“Bagi mereka yang melakukan ritual dan metode tertentu, kami akan tanya bagaimana cara dan fungsinya. Sekadar menambah pengetahuan,” imbuhnya.

Tak sampai di situ, salah satu permintaaan yang terasa cukup sulit misalnya mengawal event olahraga. Biasanya panitia tak hanya meminta tolong soal hujan, tapi ingin kondisi cuaca yang mendung. Sehingga tidak begitu terik. Mereka pun cukup bingung menghadapi permintaan begitu.

“Kalau acara yang seperti ini pasti harus dikawal. Jadi bergantung kebutuhan saja, ada yang perlu lihat lokasi,” ucapnya. Apalagi untuk acara besar yang butuh persiapan berhari-hari, proses pemantauan ini sudah dilakukan sejak H-3. Terutama untuk acara outdoor.

“Kami berdoa kalau memang harus turun hujan, kalau boleh sebelum dan sesudah acara. Jadi tidak ada cerita kami berani jamin hujan tak akan turun. Semua tetap kuasa Tuhan,” pungkasnya. (tim kp)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler