jpnn.com, MANILA - PBB menduga puluhan ribu orang di Filipina telah terbunuh dalam perang melawan narkoba sejak pertengahan 2016. Para polisi di negara itu seperti kebal hukum dan dihasut untuk melakukan kekerasan oleh para pejabat tinggi.
Penumpasan obat-obatan terlarang, yang diluncurkan Presiden Dodrigo Duterte setelah memenangi pemilu, telah ditandai dengan perintah polisi dan retorika tinggi yang mungkin ditafsirkan sebagai izin untuk membunuh.
BACA JUGA: Rodrigo Duterte: Tembak Saja Pelanggar Karantina Corona
Polisi, yang tidak memerlukan surat perintah penggeledahan atau penangkapan untuk melakukan penggerebekan di rumah-rumah, secara sistematis memaksa para tersangka untuk membuat pernyataan yang memberatkan diri sendiri atau berisiko menghadapi kekuatan yang mematikan.
Berdasarkan catataan PBB, hanya ada satu kasus di mana polisi dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman, yakni pembunuhan Kian delos Santos, seorang siswa Manila berusia 17 tahun pada 2017. Tiga petugas polisi dinyatakan bersalah setelah rekaman CCTV menyebabkan kemarahan publik.
BACA JUGA: Duterte Larang Siswa ke Sekolah: Jika tak Ada yang Lulus, Biarlah
"Meskipun ada dugaan yang dapat dipercaya tentang pembunuhan di luar hukum yang meluas dan sistematis dalam konteks kampanye melawan obat-obatan terlarang, di sana ada kondisi yang mendekati impunitas atas pelanggaran semacam itu," kata laporan PBB tersebut.
Polisi mengatakan tindakan mereka dalam kampanye antinarkoba telah sesuai hukum dan bahwa kematian terjadi dalam baku tembak dengan para pedagang yang menentang penangkapan.
BACA JUGA: Duterte Batalkan Perjanjian Militer Dua Dekade dengan Amerika
Laporan itu mengatakan bahwa beberapa pernyataan dari tingkat tertinggi pemerintahan telah naik ke tingkat hasutan untuk melakukan kekerasan dan fitnah untuk membungkam perbedaan pendapat makin dilembagakan.
"Situasi hak asasi manusia di Filipina ditandai oleh fokus menyeluruh pada ketertiban umum dan keamanan nasional, termasuk melawan terorisme dan obat-obatan terlarang. Namun, sering kali dengan mengorbankan hak asasi manusia, hak proses hukum, aturan hukum dan akuntabilitas," menurut laporan itu.
"Pemerintah juga semakin mengajukan tuntutan pidana, termasuk dengan menggunakan undang-undang kekuasaan khusus COVID-19, terhadap pengguna media sosial yang mengunggah konten yang kritis terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah," tambah laporan itu.
Laporan itu akan disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Juni.
Pengacara dan aktivis membunyikan tanda bahaya atas RUU antiterorisme baru yang didorong oleh Duterte, dan memperingatkan ketentuan kejam dan sewenang-wenang yang dapat disalahgunakan untuk menargetkan para pencelanya.
Sebagian besar korban dalam perang narkoba adalah laki-laki muda miskin kota, menurut laporan PBB. Kerabat mereka menggambarkan "banyak halangan dalam mendokumentasikan kasus dan mengejar keadilan."
"Angka paling konservatif, berdasarkan data pemerintah, menunjukkan bahwa sejak Juli 2016, sebanyak 8.663 orang telah terbunuh---dengan perkiraan lain hingga tiga kali lipat dari jumlah itu," kata laporan itu.
PBB mengutip laporan tentang pembunuhan terkait narkoba yang meluas yang dilakukan oleh orang tak dikenal dan laporan pemerintah Filipina pada 2017 yang merujuk pada 16.355 kasus pembunuhan yang sedang diselidiki sebagai prestasi dalam perang narkoba.
Surat edaran polisi tahun 2016 meluncurkan kampanye menggunakan istilah "delegasi" dan "netralisasi" dari "kepribadian yang buruk."
"Bahasa yang tidak jelas dan tidak menyenangkan seperti itu, ditambah dengan dorongan verbal yang berulang-ulang oleh pejabat tertinggi negara untuk menggunakan kekuatan mematikan, mungkin telah membuat polisi berani memperlakukan surat edaran sebagai izin untuk membunuh," ujar PBB.
Angka-angka pemerintah menunjukkan bahwa 223.780 pelaku narkoba ditangkap dari pertengahan Juli 2016 hingga 2019, tetapi tuduhan dan penyimpangan yang tidak jelas dalam proses hukum menimbulkan kekhawatiran bahwa "banyak dari kasus ini dapat menjadi penahanan sewenang-wenang."
Setidaknya 248 aktivis tanah dan lingkungan, pengacara, jurnalis, dan anggota serikat pekerja terbunuh dari 2015 hingga 2019, kata laporan itu. Apa yang disebut penandaan merah, atau pelabelan orang dan kelompok sebagai komunis atau teroris, telah menjadi marak.(ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil