jpnn.com, JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) yang tergabung dalam Koalisi Reformasi untuk Sektor Keamanan dan Koalisi Kawal Pemilu Demokratis angkat bicara merespons tindakan represi terhadap mahasiswa di Kampus Universitas Trilogi Jakarta, Sabtu malam (3/1).
Sekjen PBHI selaku jubir koalisi masyarakat sipil, Gina Sabrina mengungkap bahwa pada Sabtu, 3 Februari 2024, sekitar pukul 23:06 WIB, konsolidasi mahasiswa Jakarta yang diadakan di dalam Kampus Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan, tiba-tiba didatangi oleh segerombolan orang tidak dikenal dengan berpakaian preman.
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Apresiasi Gerakan Akademisi Selamatkan Demokrasi yang Dirusak Rezim Jokowi
"Tanpa menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya, mereka memaksa mahasiswa keluar dari kampus sembari mengancam supaya mahasiswa tidak membahas wacana aksi demonstrasi yang mendorong pemakzulan presiden," ujar Gina dikutip dari siaran pers, Minggu (4/2).
Selain itu, katanya, ada seorang mahasiswa yang ikut konsolidasi tersebut mengalami kekerasan berupa ditanduk di bagian kepalanya.
BACA JUGA: 5 Poin Sikap HMI Komisariat Hukum Universitas Brawijaya, Singgung Cawe-Cawe Jokowi
Koalisi menilai peristiwa tersebut bukan sekadar tindakan kriminal/premanisme biasa. Represi terhadap konsolidasi mahasiswa yang membahas wacana pemakzulan presiden tersebut harus dipandang sebagai tindakan yang sarat muatan kepentingan kekuasaan.
"Kuat dugaan bahwa tindakan ini didalangi atau setidak-tidaknya direstui oleh pihak yang berkepentingan," ujar Gina.
BACA JUGA: Sikap Kritis Akademisi terhadap Rezim Jokowi Diyakini Bakal Tambah Suara Anies-Muhaimin
Dalam berbagai peristiwa, lanjutnya, represi yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap pihak lain justru terbukti bukan sekadar konflik horizontal semata, irisan secara langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan kekuasaan sangat kental.
Menurut Gina, pengalaman pahit pascajajak pendapat di Timor-Timur dan Konflik Ambon menunjukkan kepada publik bahwa negara memiliki kemampuan merepresi warga untuk kepentingan tertentu.
"Ironisnya, dibungkus dengan selubung konflik horizontal," ujar Gina Sabrina.
Oleh karena itu, koalisi berpendapat sebagai berikut:
Pertama, isu pemakzulan presiden merupakan wacana yang secara organik lahir sebagai respons publik terhadap sejumlah kegaduhan, terutama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meratakan jalan bagi anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto.
"Dalam konteks ini, diduga kuat, relasi nepotisme kekeluargaan dan serangkaian pelanggaran etik eks ketua Mahkamah Konstitusi menjadi faktor bagi mulusnya jalan Gibran menuju kontestasi Pilpres 2024," tutur Gina menyampaikan pendapat koalisi.
Selain itu, berbagai tindak tanduk presiden beserta jajaran di bawah yang cenderung berpihak kepada salah satu pasangan calon di Pilpres 2024, juga memperkuat wacana pemakzulan.
Oleh sebab itu, koalisi memandang menjadi wajar apabila isu pemakzulan ini mencuat di ruang publik. Terlebih, berbagai civitas academica di berbagai perguruan tinggi di Indonesia ramai-ramai mengkritik buruknya demokrasi di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Kedua, koalisi menilai peristiwa idi Kampus Trilogi menunjukkan bahwa represi terhadap ekspresi–terutama ekspresi politik warga makin meningkat menjelang Pilpres 2024.
Kriminalisasi terhadap juru bicara TPN Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono, intimidasi pentas teater Butet Kertaredjasa, hingga beringasnya anggota TNI di Boyolali, Jawa Tengah terhadap sukarelawan paslon 03, dugaan intimidasi kepada perusahaan mobil untuk kampanye Ganjar-Mahfud dan Anies Muhaimin, menimbulkan prasangka ketidaknetralan negara.
Ketiga, aparat penegak hukum, khususnya Polri, seharusnya proaktif menanggapi peristiwa ini dengan melakukan pengusutan. Kepolisian harus mampu mengungkap kasus ini bukan hanya di level pelaku lapangan.
"Seluruh pihak yang mendalangi atau menjadi aktor intelektual juga harus diungkap dan diproses hukum," ucap Gina.
Hal itu dinilai sangat penting di tengah melemahnya kepercayaan publik kepada negara, termasuk di dalamnya Polri, lantaran berbagai dugaan keberpihakannya terhadap salah satu pasangan calon.
Gina mengatakan ketidakmampuan atau bahkan keengganan Polri dalam mengungkap represi ini hanya akan memperkuat dugaan bahwa korps Bhayangkara merupakan bagian dari mata rantai instrumen politik yang digunakan untuk memenangkan salah satu pasangan calon.
Atas permasalahan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar;
1. DPR dan Komnas HAM harus desak Kapolri agar segera memproses hukum pelaku sampai ke akar-akarnya dalam waktu 1x24 jam, termasuk dalang/aktor intelektualnya secara transparan dan akuntabel;
2. ?Bawaslu RI, sesuai tugas dan kewenangannya memeriksa segala bentuk dugaan keberpihakan alat-alat perlengkapan negara dalam kontestasi Pilpres 2024.(fat/jpnn.com)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Diminta Proaktif Memproses Pemakzulan Presiden Jokowi
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam