jpnn.com, JAKARTA - Metode polymerase chain reaction (PCR) maupun rapid test tetap dibutuhkan dalam menangani pandemi virus corona. Pasalnya, kedua metode tersebut saling melengkapi.
Pengambilan spesimen lendir menggunakan swab dan pemeriksaan menggunakan PCR adalah metode dalam mendeteksi virus SARS-COV2.
BACA JUGA: 9.091 Orang Sudah Rapid Test, Hasilnya Mencengangkan
Pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih rumit. Selain itu, pemeriksaan sampel hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan kelengkapan khusus.
“Oleh karena itu, butuh waktu beberapa hari hingga hasil tes bisa keluar. Kira-kira membutuhkan waktu dua sampai tiga hari,” kata DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FAPSR, FIS, Ketua Pengurus Harian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2017-2020, di Jakarta.
BACA JUGA: Jokowi Sadar Tes COVID-19 dengan PCR Masih Jauh Dari Target
Menurutnya, lamanya hasil tes swab karena laboratorium pemeriksa sampel lendir dari hidung seseorang itu jumlahnya terbatas. Bahkan, hanya ada di rumah-rumah sakit milik pemerintah.
"Sementara, sampel yang harus diperiksa bisa ribuan jumlahnya," ujar dia.
BACA JUGA: Cara Baru Tes PCR di RS Undip Semarang, Tak Perlu Antre dan Berkerumun
Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur itu mengatakan, rapid test yang mengandalkan tes antibodi dengan mengambil sampel darah seseorang, hanya menunjukkan respons individu melalui antibodinya terhadap virus yang masuk dalam ke tubuh.
“Hasil dari rapid test adalah reaktif dan non-reaktif. Reaktif berarti antibodi sudah muncul di dalam tubuh lantaran virus yang sudah masuk. Sementara itu, non-reaktif artinya antibodi belum muncul,” tuturnya.
Ia mengatakan metode tang paling ideal yakni tes cepat berbasis real time- polymerase chain reaction (RT-PCR). Faktanya, metode yang banyak dipakai saat ini adalah rapid test menggunakan sampel darah.
Oleh karena itu, masyarakat perlu mendapat informasi yang tepat. Termasuk bagaimana akurasi alat rapid test yang digunakan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melkiades Laka Lena menambahkan, kedua metode tersebut masih dapat diterapkan dalam menangani Covid-19.
“Keduanya saling melengkapi dan dibutuhkan. Jangan saling dibenturkan,” kata politisi Parta Gerindra itu.
Menurut dia, ditemukannya kasus alat rapid test dengan tingkat akurasi rendah memang membutuhkan evaluasi.
Namun, kasus itu tidak untuk meniadakan metode rapid test. Apalagi WHO telah merekomendasikan sejumlah rapid test kit maupun PCR.
Mengutip drugtestsinbulk.com, WHO telah menguji sejumlah rapid test kit yang diproduksi berbagai negara. Ada tiga produk yang memiliki tingkat akurasi sekitar 80 persen hingga 90 persen.
Hasil uji rapid test dari Tiongkok dan Amerika Serikat menyatakan InTec dengan tingkat akurasi 84,605 persen, Cellex dengan tingkat akurasi 86,555 persen, dan Healgen/Orient Gene dengan tingkat akurasi 91,665 persen.(ant/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh