PDIP Ingin Kembalikan Kedudukan MPR, Pengamat: Kemunduran Demokrasi

Jumat, 01 September 2023 – 23:08 WIB
Ilustrasi Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI. Foto: Ricardo/JPNN com

jpnn.com, JAKARTA - Wacana amendemen UUD 1945 belakangan kembali mencuat ke publik.

Salah satu alasannya untuk mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara.

BACA JUGA: Elektabilitas Ganjar Rebound, Hasto PDIP: Momentum Penyemangat Jajaran PDIP Turun ke Rakyat

Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan lembaga yang dipimpinnya idealnya dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara.

Menurut dia, usulan ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri.

BACA JUGA: Mengapa Elektabilitas Ganjar Naik Terus? PDIP dan Perindo Beber Jurus

Pengamat Politik Efriza Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza menilai wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah kemunduran demokrasi.

Menurutnya, para pengambil kebijakan mesti melangkah lebih maju dengan sistem yang sudah berjalan sekarang.

BACA JUGA: PDIP Bojonegoro Gelar Lomba Senam SICITA Antardesa

"Semestinya kita melangkah lebih maju. Pola pikir MPR sebagai lembaga tertinggi negara kembali apalagi sampai kedaulatan rakyat dihilangkan ini adalah kemunduran demokrasi. Gagasan ini pada dasarnya semakin menunjukkan watak kita membangun sistem pemerintahan tidak jelas, memilih sistem presidensial atau sistem parlementer," ucapnya saat dihubungi, Kamis (1/8).

Efriza menuturkan, konsep sebelum reformasi adalah menjadikan MPR sebagai lembaga yang dapat berbuat apapun (omnipotent), bahkan berada di atas semua lembaga negara yang lainnya (supremacy).

Akhirnya, MPR dapat menjadi lembaga diktator karena tiada suatu lembaga lain yang dapat mengimbangi kekuasannya.

"Sekarang kita sudah menempatkan kedaulatan rakyat dan supremasi konstitusi, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Ini menunjukkan kita yang menginginkan MPR hanya berfungsi sebagai lembaga formal yang tidak terkait langsung dengan konsep kedaulatan rakyat," ucapnya.

"Tidak hanya itu, MPR juga tidak lagi sebagai puncak kelembagaan dari teori pembagian kekuasaan yang masa lalu dianut," ujarnya.

Efriza melanjutkan, menempatkan gagasan supremasi parlemen dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara selalu melahirkan pemerintahan otoriter dan terlihat dari dua orde sebelumnya.

Dia menyebut, rakyat juga sudah menyaksikan apa yang diputuskan MPR seringkali tidak sesuai dengan apa yang dinginkan oleh rakyat yang diwakili.

"Sebut saja ketika MPRS mengangkat Soekarno presiden seumur hidup, dapat dipastikan rakyat belum tentu setuju, Demikian pula, ketika MPR memutuskan untuk terus mengangkan Soeharto menjadi presiden selama 30 tahun lebih, tentu saja tidak sesuai kehendak rakyat," terangnya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti keinginan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri ingin menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Menurutnya, Megawati dan PDIP lebih mengedepankan adanya GBHN maupun kebijakan berkelanjutan dengan adanya pengawasan.

"Dari konsep ini memang ujungnya memungkinkan kepada MPR menjadi lembaga tertinggi negara kembali. Ini yang semestinya dihasilkan dorongan pemikiran ingin seperti apa konsep berkelanjutan pengelolaan negara, bukan melangkah kepada keadaan yang dapat terjadinya kemunduran demokrasi," tuturnya.

"Jika itu yang terjadi, diinginkan oleh PDIP. Artinya, PDIP belum bisa melepaskan masalah masa lalu," sambungnya.

Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, idealnya MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara.

Hal ini disampaikan pria yang akrab disapa Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (16/8).

Menurut dia, usulan ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Presiden kelima RIbMegawati Soekarnoputri.

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," kata Bamsoet.

Dia menegaskan, hal ini perlu ada lembaga yang bisa mengambil keputusan, jika Pemilu serentak mengalami suatu masalah atau bencana.

Diketahui, baik Pileg maupun Pilpres kini dilakukan secara serentak, yang dimulai pada 2024.

"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alamyang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi?" ungkap Bamsoet. (dil/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler