PDIP Ingin MPR Jadi Lembaga Tertinggi, Formappi Curiga Ada Upaya Memulihkan Sistem Orde Baru

Sabtu, 02 September 2023 – 15:12 WIB
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com.

jpnn.com - Belakangan wacana amandemen UUD 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara kembali mencuat ke publik seperti diutarakan Ketua MPR Bambang Sosesatyo.

Bamsoet pun menyebut usulan ini juga pernah disampaikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

BACA JUGA: Konon Tidak Mungkin Demokrat ke PDIP, Ini soal Hubungan Mega-SBY

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara belum layak untuk didukung. Menurutnya, MPR tak boleh sepihak memutuskan sistem bernegara.

"Kita berharap usulan apapun yang direkomendasikan selalu harus melibatkan publik. MPR jangan sepihak memutuskan mau kita apakah sistem bernegara kita," kata Lucius saat dihubungi, Jumat (1/9).

BACA JUGA: Said PDIP: Kapan pun Gus Muhaimin Berlabuh ke Mas Ganjar, Pintu Kami Senantiasa Terbuka

"Pengabaian MPR kepada aspirasi publik hanya akan menghuatkan dugaan akan adanya kepentingan lain dibalik ypaya mengembalikan posisi MPR," sambungnya.

Menurutnya, ide mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara cukup mengejutkan karena muncul di penghujung periode.

BACA JUGA: Hari Ini Anies-Cak Imin Dideklarasikan, Dominasi PDIP & Gerindra Bisa Roboh

Padahal, di awal periode MPR 2019-2024 usulan mengamandemen konstitusi tak pernah sampai menyinggung gagasan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Lucius mengatakan, saat itu para pengusul amandemen konstitusi hanya menyebutkan keinginan mengembalikan GBHN dengan nama baru PPHN.

"Ketika publik kala itu coba membaca efek lanjutan dari gagasan mengembalikan PPHN adalah kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara, para pengusul buru-buru membantah," ungkapnya.

"Eh seperti tak mau menjilat ludah sendiri, sekarang para penggagas amandemen konstitusi justru seperti lupa dengan gagasan terdahulu soal PPHN dan justru lebih vulgar menginginkan amandemen konstitusi untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga Tertinggi negara," sambungnya.

Dengan latar tersebut, Lucius melanjutkan, publik bisa membaca motivasi para penggagas sejak awal periode terkait amandemen konstitusi, bahwa tampak ada agenda lebih besar dibalik keinginan mengembalikan PPHN di awal periode. Yaitu memulihkan sistem lama selama orde lama dan orde baru.

"Jangan-jangan diam-diam target para penggagas amandemen konstitusi ini benar-benar untuk memulihkan sistem lama yang pernah berlaku selama orde lama hingga baru dimana MPR menjadi lembaga tertinggi negara. lalu jika niat itu terwujud misi selanjutnya menjadi mudah yaitu Pemilu Presiden oleh MPR," ujarnya.

Lucius menuturkan, kecurigaan akan adanya agenda tersembunyi dibalik dorongan untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara bukan sesuatu yang berlebihan, jika melihat upaya atau dinamika MPR plus DPD mengusulkan sejumlah agenda terkait amandemen konstitusi.

"Niat-niat tersemunyi itu sulit dijangkau publik karena pengusul menyampaikan itu secara bertahap. Dari dinamika kemunculan usulan, sangat mungkin agenda lain sesungguhnya yang menjadi target para pengusul, dan agenda itu nampaknya sangat politis," pungkasnya.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, idealnya MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara. Hal ini disampaikan pria yang akrab disapa Bamsoet dalam Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (16/8).

Menurut dia, usulan ini sebagaimana pernah disampaikan oleh Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri.

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," kata Bamsoet.

Dia menegaskan, hal ini perlu ada lembaga yang bisa mengambil keputusan, jika Pemilu serentak mengalami suatu masalah atau bencana. Diketahui, baik Pileg maupun Pilpres kini dilakukan secara serentak, yang dimulai pada 2024.

"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alamyang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi?" ungkap Bamsoet. (dil/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler