PDIP: Pemerintah Harus Ambil Alih Blok Mahakam

Rabu, 25 Juli 2012 – 15:53 WIB
JAKARTA – PDIP mendesak pemerintah mengambil alih kontrak karya migas Mahakam sekaligus menghentikannya dari tangan asing. Menurut PDIP, penerusan kontrak dengan pihak asing berpotensi merugikan negara minimal Rp1,98 triliun per bulan.

Karena itu, PDIP mendesak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang mekanisme pengelolaan blok-blok migas yang masa kontraknya akan habis, termasuk Blok Mahakam.

Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, di Jakarta, Rabu (25/7), mengatakan, di PP itu nantinya mesti ditegaskan bahwa semua blok-blok itu harus kembali ke negara begitu kontraknya selesai.

“PP harus mengatur tegas bahwa pemanfaatan kekayaan alam Indonesia itu dikembalikan ke negara dan negara bisa menugaskan BUMN memegangnya," kata dia.

Dijelaskan Bambang, dengan adanya PP maka setiap rezim di Indonesia berganti sudah ada payung hukum untuk melanjutkan pengelolaan migas. Ketua DPP Bidang Energi PDI Perjuangan ini melanjutkan bahwa prinsip demikian harus dilaksanakan pemerintah sebagai perwujudan pasal 33 UUD 1945 yang mewajibkan bumi dan kekayaan alam dipelihara negara demi semaksimalnya kepentingan rakyat.

"Ketika negara sedang menjerit dan memerlukan uluran tangan, maka perlu ada kejelasan sikap. Apakah kontrak-kontrak ini dijadikan pencarian dana siluman rezim? PDIP tak mau berprasangka buruk. Biarlah, kalau ada yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, maka orang seperti itu tak beradab," kecam Bambang.

Ketua Poksi PDIP di Komisi VII DPR, Daryatmo Mardiyanto, menjelaskan bentuk kerugian negara apabila pemerintah tak mau mengambil alih Blok Mahakam yang selama ini dikontrakkan ke Total E & P Indonesia milik Prancis dan Inpex Corporation Jepang.

Kontrak karya itu dimulai 31 Maret 1967, sebulan setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat Presiden, 26 Februari 1967. Kontrak itu berdurasi 30 tahun hingga 31 Maret 1997, yang kemudian diperpanjang dan akan berakhir pada 31 Maret 2017.

Saat ini, kata dia, Total dan Inpex sudah mengajukan perpanjangan kontrak selama 25 tahun hingga 2042.  Dari kontrak yang ada sekarang, jatah kedua kontraktor itu adalah 40 persen produksi minyak dari produksi perhari 93.000 BOD, alias 37.200 barel. Dari jumlah itu, dengan asumsi harga minyak perbarel adalah USD 100, maka nilainya USD 3,72 juta.

Dari gas di Blok Mahakam, jatah kedua kontraktor adalah 30 persen dari produksi perhari 2200 MMSCFD atau 660 MMSCFD  yang setara 660 ribu MMBTO. Jika diasumsikan harga pers MMBTO adalah USD 5, maka nilai total pemasukan kedua kontraktor perhari adalah USD 3,30 juta.

Total pemasukan perhari kedua perusahaan dari Blok Mahakam adalah USD 7,02 juta atau sekitar USD 210,6 juta perbulan, atau setara Rp 1,98 triliun perbulan. Pendapatan itu bisa bertambah karena, seperti gas dari blok Mahakam, dibawa ke Bontang untuk diproses menjadi gas elpiji yang laku bak kacang goreng seharga USD 18 dolar ke Jepang dan Korea Selatan.

“Apabila kontrak dihentikan pada saat habis masa berlaku pada 2017, maka uang itu akan mengalir ke kas negara dengan catatan pengerjaan diserahkan ke perusahaan negara,” kata Daryatmo.

Dijelaskan dia, kontraktor hanya menjalankan saja, sementara semua peralatan itu milik negara. “Dia hanya punya kemampuan knowledge. Sehari dia dapat 7 juta dolar kalau berlanjut. Ini lobi mereka luar biasa," kata Daryatmo. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setoran Bea Keluar Tak Capai Target

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler