JAKARTA - Penerimaan bea keluar bahan tambang mineral diperkirakan tidak mencapai target. Itu karena kebijakan tersebut merangsang perusahaan tambang membangun smelter dibandingkan menggenjot ekspor.
"Secara konsekuensi logis, bea keluar digunakan supaya tidak keluar barangnya. Dan ternyata sekarang banyak perusahaan yang ingin membuka smelter ada 154 perusahaan," kata Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Agung Kuswandono di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (24/7).
Agung mengatakan, pengenaan bea keluar membuat eksporter harus mendapatkan keterangan clean and clear atau tidak pernah menunggak pajak. "Akhirnya ketahuan juga yang selama ini tidak bayar royalti dan clean and clear," kata Agung.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang P. S Brodjonegoro mengatakan potensi penerimaan bea keluar pertambangan mineral bisa mencapai Rp 14 triliun setahun. Karena baru diberlakukan pertengahan tahun, potensinya sekitar Rp 7 triliun.
Target tersebut diperkirakan tidak akan tercapai. "Meski mungkin tidak tercapai, yang penting tujuan mencegah ekspor bahan mentah tidak terkendali bisa tercapai," kata Bambang.
Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK No 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Beleid tersebut berlaku sejak 16 Mei 2012. Melalui aturan itu, 65 jenis mineral mentah dikenakan tarif 20 persen.
Dalam UU Mineral dan Batubara, komoditas tambang dilarang diekspor dalam bentuk barang mentah mulai 2014. Bambang mengatakan, larangan tersebut membuat ekspor komoditas mineral meningkat tajam sejak 2009.
Menurut Bambang, kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan. Sehingga pemerintah harus memberikan disinsentif berupa bea keluar. Sebaliknya, pemerintah akan memberikan insentif fiskal untuk pembangunan smelter atau pengolah mineral mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. (sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jabodetabek Dilanda Krisis Tahu-Tempe
Redaktur : Tim Redaksi