Pedas Banget! Media Asing Sentil Penanganan COVID-19 di Indonesia

Senin, 03 Agustus 2020 – 10:34 WIB
Pengunjung saat berwisata ke Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Sabtu (1/8). Mereka memanfaatkan libur Hari Raya Idul Adha 1441 H untuk berekreasi dan melepas penat di tengah pandemi COVID-19. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Media kondang di Amerika Serikat New York Times pada Jumat (31/7) merilis sebuah tulisan dari Richard C. Paddock, soal penanganan wabah COVID-19 di Indonesia.

Tulisan Paddock tersebut berjudul In Indonesia, False Virus Cures Pushed by Those Who Should Know Better, judul yang seakan menjadi gambaran umum Indonesia di tengah pandemi saat ini sedang bingung.

BACA JUGA: Kematian Pertama akibat COVID-19 di Kota Madiun, Guru SMP

Sejumlah pejabat dan influencer disebut kerap mempromosikan pengobatan COVID-19 yang jauh dari sifat keilmiahan.

Ini menjadi miris mengingat penduduk Indonesia sangat beragam dan tidak semua bisa memilah informasi.

BACA JUGA: Tompi Soroti Video Wawancara Anji dengan Hadi Pranoto Soal Obat Covid-19, Begini Katanya

Apalagi jika informasi-informasi salah tersebut justru disebarkan oleh orang-orang yang mereka anggap benar, seperti pejabat dan influencer.

Ada beberapa contoh yang diambil oleh Paddock. Seperti promosi kalung eucalyptus yang diramu dari spesies kayu putih.

BACA JUGA: Gila! Di Bogor Hari Ini, Berjam-jam Antre dan Berdesakan Untuk Minum Kopi

Kalung tersebut digadang-gadang bisa membunuh 80 persen partikel virus dalam setengah jam.

Meski begitu, klaim tersebut langsung disanggah oleh para ahli kesehatan, termasuk kepala laboratorium yang mengembangkan ramuan aromaterapik. Ia mengatakan, kalung tersebut tidak efektif menanganani virus corona.

Di Bali, pemerintah setempat mendorong pengobatan menghirup uap arak, minuman tradisional.

Fakta-fakta tersebut sangatlah miris. Para pejabat dan influencer yang seharusnya memberikan pemahaman berbasis ilmu pengetahuan kepada masyarakat awam justru menjerumuskan mereka ke dalam informasi yang salah.

Di tengah tekanan sosial-ekonomi disertai penanganan wabah yang tidak maksimal, para pejabat seakan kehilangan arah.

"Karena Indonesia terus kehilangan penanganan pandemik, pemerintah mengalami kesulitan untuk menyampaikan pesan berbasis ilmu pengetahuan yang konsisten tentang virus corona dan penyakit yang ditimbulkannya, COVID-19," tulis Paddock.

Sebagai negara dengan populasi yang besar dan beragam, geografi yang luas dan bentuknya kepulauan, sulit memang bagi pemerintah untuk mengimplementasikan rencana yang jelas dan terpadu untuk memerangi virus.

Di tengah hambatan-hambatan tersebut, penanganan wabah justru diperburuk dengan serangan informasi palsu dan seringkali berbahaya.

Sementara itu, masih banyak pula warga yang tidak peduli. Bahkan, di provinsi-provinsi yang paling terdampak, Paddock mengatakan, 70 persen warganya pergi tanpa mengenakan masker dan mengabaikan jarak sosial.

Mereka kerap berkerumun di toko, pasar, kafe, hingga restoran.

Pada awal wabah, menurut Paddock, Presiden Joko Widodo meremehkan pandemi. Ia baru mengakui keparahan COVID-19 pada Maret, ketika pemerintah mengonfirmasi kasus pertama.

"Setelah itu, secara lambat, ia menutup bisnis dan sekolah serta membatasi perjalanan, tetapi cepat untuk mengangkat pembatasan bahkan ketika kasus terus meningkat," sambungnya.

Ketika Indonesia masuk ke tahap new normal, ia mengancam akan memecat menteri kabinet karena tidak berbuat lebih banyak untuk mengendalikan pandemik.

"Dengan tidak adanya pesan terpadu dari pemerintah nasional, pejabat lokal dan oportunis telah mengisi kesenjangan," kata Paddock.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat ini fokus pada Palang Merah Indonesia (PMI) mengatakan, Indonesia memiliki kesalahan di awal wabah karena Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto meminimalkan keparahan.

"Sampai Maret, Menteri Terawan seperti Trump, mengatakan, 'Oh, ini hanya flu biasa,'. Namun, sekarang, Menteri Terawan sangat realistis. Para menteri dan gubernur berusaha mencari solusi dalam situasi yang tidak pasti. Ini adalah trial and error," ujarnya.

Entah apakah sebuah kabar baik atau bukan, namun bukan hanya di Indonesia informasi tak ilmiah disebarkan oleh para pejabat yang seharusnya memiliki pengetahuan yang lebih.
Di Kenya, Gubernur Nairobi telah mendorong penggunaan cognac untuk mengobati COVID-19.

Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump mempromosikan hydroxychloroquine, obat yang digunakan untuk mengobati malaria yang tidak terbukti efektif mengobati COVID-19. (rmol)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler