jpnn.com, JAKARTA - Digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan telah dan akan terus mengubah dunia kerja didorong oleh semakin masifnya peran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan otomasi.
Konsekuensinya, permintaan pasar kerja akan model keahlian dan kompetensi angkatan kerja pun berubah signifikan.
BACA JUGA: Jamin Formula E 2023 Bersih dari Kasus Hukum, Bamsoet: Mulai dari Nol
Kecenderungan itu hendaknya membangkitkan kepedulian negara untuk segera menyiapkan angkatan kerja yang qualified seturut kebutuhan zaman agar bonus demografi dekade 2040-an tidak menjadi beban.
Konsekuensi logis dari semakin meluasnya peran AI dan otomasi sudah menjadi fakta yang dipahami, diterima dan dinikmati masyarakat.
BACA JUGA: Bamsoet Apresiasi Peran Penting Pemerintah di Berbagai Forum Internasional
Segala aspeknya dirasakan langsung dalam dinamika hidup keseharian masyarakat.
Beragam kebutuhan terlayani dengan cepat, efisien dan tepat waktu.
BACA JUGA: Bamsoet Dorong KPU Wajibkan Anggota Legislatif dapat Pembekalan Tentang Ini
Sebagai konsumen, masyarakat pun sudah menolak proses kerja layanan pola lama yang lamban dan berbelit akibat ketergantungan pada peran otak dan tenaga manusia.
Sudah barang tentu di saat yang sama, semua orang juga melihat langsung tentang semakin minimnya peran tenaga manusia dalam rangkaian proses itu.
Peran dan fungsi AI serta otomasi memang mereduksi peran otak dan tenaga manusia dalam beragam proses tersebut.
Bagi generasi kakek-nenek dan generasi orang tua, proses yang demikian tentu terkesan dan tampak cukup ekstrim, karena hilangnya begitu banyak pekerjaan yang dalam prosesnya di masa lalu selalu melibatkan dan mengandalkan otak serta tenaga manusia.
Namun, fakta perubahan zaman itu tak terhindarkan.
Sementara bagi generasi orang muda era terkini, semakin dominannya peran dan fungsi AI serta otomasi praktis menjadi keniscayaan.
Tidak sekadar memahami, orang muda masa kini, utamanya generasi pascamilenial, seperti generasi Z dan generasi Alpha secara tidak langsung didorong untuk terus beradaptasi dan membaca arah perubahan di masa depan, ketika peran dan fungsi AI maupun otomasi makin dominan.
Tidak ada pilihan lain bagi generasi Z dan Alpha kecuali mempersiapkan diri atau dipersiapkan sejak dini gar masing-masing dapat melakoni dinamika perubahan itu dengan keahlian dan kompetensinya masing-masing.
Dalam berbagai forum terdahulu, para ahli dari kalangan swasta maupun pemerintah sudah mengingatkan dan menunjuk fakta tentang tereliminasinya begitu banyak pekerjaan masa lalu karena sudah tergantikan oleh AI dan otomasi.
Dari beragam studi serta penelitian dan pengembangan, para ahli pun sudah mengemukakan bahwa akan muncul begitu banyak pekerjaan baru di era sekarang dan di masa depan.
Pekerjaan baru itu akan muncul di berbagai sektor kehidupan, baik di sektor bisnis dan perdagangan, layanan kesehatan hingga sektor pertanian.
Untuk mendapatkan gambaran tentang tantangan bagi generasi Z dan Alpha perihal kebutuhan kualifikasi angkatan kerja di masa depan, apa yang pernah dikemukakan Menteri BUMN Erick Thohir maupun para pakar lainnya patut untuk disimak.
Menurut Menteri Erick Thohir, Indonesia membutuhkan 17,5 juta tenaga kerja dengan keahlian teknologi yang mumpuni untuk mendorong pertumbuhan makro ekonomi nasional.
Kebutuhan itu digambarkan sebagai sangat mendesak di tengah disrupsi teknologi saat ini.
"Kita memerlukan yang namanya knowledge based economy, kita memerlukan 17,5 juta tenaga kerja yang melek teknologi, kita memerlukan pengusaha baru yang mengerti teknologi," ujar Menteri Erick.
Jadi, jelas bahwa semua pekerjaan baru di masa depan itu mewajibkan komunitas angkatan kerja terkini dan nanti memahami dan menguasai teknologi.
Hilangnya jenis atau model pekerjaan masa lalu dan masa kini mulai muncul jenis atau model pekerjaan baru sebagaimana disebutkan para pakar.
Misalnya, untuk sektor informasi teknologi, dibutuhkan data scientist and analyst, big data engineer, software developer dan artificial intelligence expert.
Sementara di sektor bisnis dan digital marketing, dibutuhkan blockchain developer, financial management, market research hingga digital marketing specialist.
Di sektor kesehatan, dibutuhkan medical professional, medical technology, registered nurses, biotechnology and food engineering.
Berpijak pada proyeksi kebutuhan dan kualifikasi angkatan kerja seperti itu, mau tak mau sektor pendidikan dan bisnis patut melakukan introspeksi.
Pertanyaan yang patut dimunculkan adalah apa yang sudah dilakukan sejauh ini dalam mempersiapkan generasi Z dan Alpha agar pada saatnya nanti mereka mampu merespons tantangan zamannya dengan keahlian dan kompetensi?
Kepedulian akan masalah ini harus mulai ditunjukan dari sekarang.
Sebab, suka tidak suka, proyeksi tentang kebutuhan dan kualifikasi angkatan kerja seperti itu sangat layak dikaitkan langsung dengan bonus demografi yang akan terwujud pada dekade 2040-an.
Sebagaimana telah diproyeksikan, bonus demografi pada dekade itu memberi gambaran bahwa 70 persen dari total jumlah penduduk Indonesia dalam usia produktif.
Kalau lebih dari 100 juta jiwa usia produktif itu tidak berkeahlian dan tidak punya kompetensi seturut kebutuhan zaman, mereka menjadi angkatan kerja yang akan membebani negara.
Lebih dari itu, dunia pun mulai menapaki revolusi peradaban Masyarakat 5.0 (Society 5.0) yang bertujuan mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi semua orang dengan dukungan AI dan internet of things (IoT).
Masyarakat 5.0 dipahami sebagai upaya integrasi ruang maya dengan realitas kehidupan masyarakat untuk menyediakan ragam produk kebutuhan harian sesuai kepentingan tiap individu.
Berbicara tentang menyiapkan dan kesiapan calon angkatan kerja di masa depan, mau tak mau harus melihat bekal apa yang diberikan dunia pendidikan kepada generasi Z dan Alpha sekarang ini.
Idealnya, bekal ilmu yang diberikan kepada mereka relevan dengan kualifikasi dan kompetensi yang menjadi tuntutan zamannya.
Sektor pendidikan hendaknya berambisi untuk membangun dan menjadikan generasi Z dan Alpha sebagai orang muda Indonesia yang melek dan punya keahlian serta kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Menyikapi perkembangan teknologi yang demikian cepat, literasi digital menjadi faktor kunci dan fondasi utama yang harus dimiliki generasi Z dan generasi Alpha sejak dini.
Dalam konteks itu, menerapkan konsep pendidikan link and match perlu dipertimbangkan lagi.
Pendidikan dengan konsep link and match adalah upaya penggalian kompetensi peserta didik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan pasar kerja.
Sesuai tantangan zaman, strategi pendidikan link and match layak diterapkan, karena generasi Z dan Alpha dituntut untuk responsif terhadap perubahan dan perkembangan teknologi yang berjalan begitu cepat sekarang ini. (***)
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Pendiri dan Ketua Pembina Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka/Mahasiswa Magister Hukum Universitas Jayabaya
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi