Pegawai negeri di Indonesia yang sekarang dikenal dengan sebutan ASN (Aparatur Sipil Negara) akan bisa bekerja dari Bali, sebagai upaya pemerintah untuk "menggairahkan pariwisata dan industri ekonomi kreatif". Namun program ini dipertanyakan oleh beberapa kalangan.
Program 'Work From Bali' (WFB) yang sekarang sedang dipersiapkan, rencananya akan dimulai di kuartal ketiga tahun 2021.
BACA JUGA: Bea Cukai Optimalkan KIHT Soppeng untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi
Sekitar 25 persen ASN dari delapan kementerian berbeda direncanakan akan tinggal dan bekerja dari kawasan perhotelan Nusa Dua.
Sebanyak 16 hotel yang dikelola oleh ITDC yang dikelola perusahaan negara sudah resmi bergabung dalam program ini.
BACA JUGA: Mengapa Melbourne Lebih Sering Mengalami Wabah COVID-19?
Ide pengiriman ASN bermula dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, setelah Bali menderita kerugian sebesar $48,5 miliar akibat pandemi COVID-19 Maret hingga Juli tahun lalu.
Deputi Bidang Koordinasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenko Odo Manuhutu mengatakan program WFB diadakan untuk meningkatkan rasa percaya wisatawan domestik sehingga mampu memulihkan sektor pariwisata di Bali.
BACA JUGA: Pangeran Harry dan Meghan Umumkan Kelahiran Anak Kedua Bernama Lilibet
"Setiap satu Rupiah yang dikeluarkan untuk perjalanan dinas ke daerah, termasuk Bali, akan memberikan multiplier effect (dampak langsung, tidak langsung maupun induksi) bagi perekonomian lokal," kata Odo.
Program ini mendapat dukungan dari Irwansyah Nurdin, seorang pegawai yang baru mulai bekerja sebagai ASN di Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak bulan Januari 2021.
"Kami belum lagi diberitahu secara resmi namun kami melihat dari pemberitaan dan rekan-rekan saya sudah membicarakan ini juga," katanya kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.
Irwansyah mengatakan dia akan pergi bila diperintahkan oleh atasannya, meskipun merasa bahwa tuntutan pekerjaannya di Departemen Humas di Kementerian lebih mudah bila dilakukan di Jakarta.
Budi, seorang ASN yang bekerja di salah satu kementerian selama lebih dari 10 tahun mengatakan dia akan berpartisipasi sepenuhnya dalam program tersebut walau nantinya dia harus hidup berpisah dari keluarganya di Jakarta.
"Kami melihat ini sebagai penugasan, dan ASN sudah mengucap janji untuk bersedia ditempatkan di mana saja, dan juga karena keinginan luhur kami untuk membantu perekonomian Bali," katanya.
"Bila kami bisa pindah ke Bali untuk membantu hotel, restoran, toko beli oleh-oleh dan keluarga mereka, tentu bagus sekali."
Dia mengatakan ASN akan dibayar tambahan uang saku di bawah Rp1 juta per hari selama mereka bekerja dari Bali.
Sebagai perbandingan gaji pokok ASN yang baru masuk sebulannya adalah sekitar Rp1,5 juta.
Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif mengatakan sebelumnya sudah melakukan uji coba program tersebut di tiga bulan pertama tahun 2021, yang menurut mereka berhasil meningkatkan hunian hotel menjadi sampai 30 persen.
"Kami memulai program WFB ini di bulan Januari dan sudah menunjukkan hasil dalam usaha menggairahkan kembali industri pariwisata di Bali, dari sebelumnya jumlah kunjungan 2000-2500 sekarang menjadi 7.000-7500, jadi angkanya naik tiga kali lipat," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno.
Rita Utomo, adalah seorang pengusaha perempuan yang tinggal di Bali dan memiliki usaha memasok kartu elektronik untuk hotel.
Ia mengatakan dirinya mendengar industri perhotelan di sana menyambut baik program WFB.
Meski menurut Rita program ini akan meningkatkan tingkat hunian hotel, tapi secara keseluruhan dampaknya terhadap perekonomian Bali tidaklah banyak.
"Karena para ASN ini datang untuk bekerja, bukan untuk liburan," katanya.
Rita Utomo yang mengatakan bisnisnya di tahun 2021 ini jauh lebih buruk dibandingkan di tahun sebelumnya berhadap bahwa program WFB tidak hanya akan terkonsentrasi ke kawasan Nusa Dua saja.
Harapan sama juga disampaikan oleh Khrisnamurti, senora penulis dan motivator, yang sengaja datang ke Bali sejak bulan September 2020 guna membantu warga di sana selama pandemi
Dia mengatakan menargetkan hotel kecil dan villa di lokasi seperti di Ubud, tempat tinggalnya sekarang, akan sangat membantu mereka dari golongan menengah ke bawah untuk bertahan di tengah pandemi.
"Menarik untuk melihat bagaimana program WFB dari kementerian ini, kelas hotel mana yang menjadi sasaran? Apakah hotel mewah di Nusa Dua atau hotel kecil yang dimiliki oleh warga setempat?"
"Selama saya di sini, saya melihat bahwa warga dari golongan sosial ekonomi menengah ke bawah yang paling menderita." Bagaimana akan membantu Bali?
I Kadek Sandhy Mahardika yang bekerja sebagai supir 'freelance' di Bali kesulitan untuk mendapatkan konsumennya selama setahun terakhir.
Di tengah pandemi COVID-19, Sandhy mengandalkan tabungan yang sudah dia kumpulkan dari 14 tahun yang lalu dan "cukup untuk makan saja".
Bapak dari dua orang anak ini juga menerima bantuan dari pelanggannya yang tinggal di Australia.
"Menurut saya programnya sangat bagus karena pemerintah sangat ingin membantu masyarakat Bali ... tapi bisa kena ke masyarakat Balinya sendiri, maaf, saya belum tahu," katanya.
"Ada sih beberapa [yang membicarakan program ini], tapi maaf, kayaknya masyarakatnya tidak begitu antusias lagi, karena maaf, gembar-gembornya kan Juni atau Juli dibuka, terus mandek lagi," tambahnya.
"Jadi banyak berita simpang siur."
Wajar jika masyarakat Bali mempertanyakan apa manfaat program WFB bagi mereka, menurut Enny Sri Hartati, ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Enny tidak yakin program tersebut akan membawa dampak pada perekonomian Bali, yang menurut data Bank Indonesia Provinsi Bali, 99 persen usahanya didominasi oleh UMKM.
"Yang menerima dampak itu hanya hotel, jadi warga Balinya sendiri apakah mereka langsung terdampak? Belum tentu, karena yang diharapkan warga Bali itu yang sebagian besar UMKM," katanya.
"Kalau mereka diminta kerja dari Bali, pasti kerjanya di hotel -ah, gak mungkin di cottage, atau pedesaan dan berbelanja di sana, kalau berbelanja ke pedesaan dan sebagainya, kapan kerjanya?"
Dia juga mengatakan skema tersebut akan menjadi kontra-produktif dengan upaya percepatan penyelesaian penularan COVID-19 di Bali, yang menurutnya adalah "sumber persoalan".
"Menurunnya aktivitas pariwisata di Bali itu sudah dipastikan penyebabnya adalah karena pandemi," katanya.
"Jadi penurunan aktivitas pariwisata termasuk berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi di Bali, itu bukan penyebab. Nah artinya, kalau mau diselesaikan kan harus penyebabnya, bukan dampaknya."
Menurut Enny, fokus pemerintah perlu diubah.
"Jadi menurut saya, kalau pun pemerintah punya anggaran, ini seharusnya lebih fokus untuk bagaimana percepatan vaksinasi misalnya, itu akan lebih punya korelasi yang konkret terhadap penyelesaian atas permasalahan fundamentalnya, permasalahan pokoknya," katanya.
"Ini yang menurut saya alasan kenapa program ini tidak akan efektif." Bagaimana dengan risiko penularan COVID-19?
Laporan hari Kamis (03/06) mencatat Bali memiliki lebih dari 500 kasus aktif, dengan sebanyak 1,3 juta warga telah menerima dosis pertama vaksin AstraZeneca.
Bali menargetkan vaksinasi sedikitnya 4,8 juta warga akhir Juni nanti dan mendahulukan warga di tiga "zona hijau", yang diusahakan untuk bebas dari COVID-19, demi mempercepat pemulihan industri pariwisata.
Lebih dari 8.000 karyawan hotel dan fasilitas kawasan The Nusa Dua, yang rencananya akan menjadi salah satu tempat tinggal peserta WFB, telah menerima dosis kedua vaksin.
Pandu Riono, epidemiolog Universitas Indonesia, mengatakan "memang ada special treatment" di Bali, yang lebih banyak memvaksinasi pekerja pariwisata kreatif.
"Jadi memang mereka bukan ingin menggagalkan pandemi, ingin memulihkan ekonomi, tetapi kan masalahnya gak di situ," katanya.
"Masalahnya situasinya bukan situasi yang statis, tapi situasi yang sangat dinamis. Sehingga pandeminya itu kan juga bukan hanya ditentukan daerah itu lebih aman ... terus juga ada penduduk-penduduk lain di luar wilayah yang bawa duit datang."
Pandu mengatakan "sulit" bagi program WFB "untuk dikatakan bisa aman dari segi pandemi".
"[Program vaksinasi] tidak on the right track dalam pengertian penduduk Balinya kan semakin lama semakin bertambah, maksudnya tidak statis. Pendatangnya tidak vaksinasi, sama saja bohong," katanya.
"[Vaksinasi] tidak menjamin dan bukan berarti risiko [kesehatan]nya tidak lebih tinggi ... tapi kan tetap kondisinya di mana mutasi virusnya lagi ganas, itu yang bisa uncontrolled spread nya itu di situ."
Sandhy dan istrinya memang sudah divaksinasi, namun tetap khawatir akan risiko penularan COVID-19 yang mungkin ditimbulkan dari program tersebut.
"Ya pastinya saya khawatir, terus teman-teman banyak yang mengeluh kapan ini akan berakhir, penuh dengan banyak pertanyaan tentang COVID ini."
ABC telah menghubungi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk memberikan tanggapan.
Laporan tambahan oleh Hellena Souisa
Simak laporannya dalam Bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Alasan Pemerintah Hentikan Subsidi Listrik PLN Mulai Juli Mendatang