Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Didakwa Suap Panitera PN Jakpus

Rabu, 29 Juni 2016 – 15:20 WIB
Ilustrasi. Foto: AFP

jpnn.com - JAKARTA - Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Arianto Supeno menghadapi sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/6).

Doddy didakwa menyuap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Dakwaan juga ditujukan pada Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro, Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International Ervan Adi Nugroho, serta pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti.

BACA JUGA: SBY Langsung Kumpulkan Petinggi Demokrat di Cikeas

Suap Rp 150 juta diberikan agar Edy menunda proses pelaksanaan aanmaning atau peringatan eksekusi terhadap PT MTP dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT AAL.

"Meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang," kata Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi Fitroh Rohcahyanto membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/6).

BACA JUGA: Jokowi Berduka untuk Teror Bom di Turki

Suap berawal ketika Eddy Sindoro menugaskan Hesti melakukan pendekatan dengan pihak lain. Termasuk menugaskan Doddy melakukan penyerahan dokumen dan uang terkait perkara.

Di antara perkara itu ialah soal aanmaning niaga PT MTP melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco). Jaksa menjelaskan, berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase di Singapura, PT MTP dinyatakan wanprestrasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco USD 11.100.000.

BACA JUGA: SBY Menunggu Penjelasan KPK Dulu Baru Ambil Sikap

Karena PT MTP tidak juga melaksanakan kewajibannya, PT Kymco kemudian mendaftarkan putusan itu ke PN Jakpus. Tujuannya, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia.

PN Jakpus kemudian melakukan aanmaning atau memanggil PT MTP 1 September 2015 dan 22 Desember 2015. Eddy Sindoro yang mengetahui adanya pemanggilan dari pengadilan menugaskan Hesti mengupayakan penundaan aanmaning.

Lantas, Hesti dan Edy bertemu di kantor PN Jakpus 14 Desember 2015. Hesti meminta dilakukan penundaan aanmaning. Menurut Jaksa, Edy setuju menunda aanmaning hingga Januari 2016. "Dengan imbalan Rp 100 juta," kata Jaksa Fitroh.

Ia melanjutkan, Wreati kemudian meminta persetujuan Eddy jika uang Rp 100 juta akan diminta dari Herry Soegiarto. Eddy pun menyetujuinya. Setelah Eddy setuju dan uang disiapkan, Doddy kemudian menyerahkan Rp 100 juta itu kepada Edy di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, 18 Desember 2016.

Tak hanya itu, Edy dan Doddy juga diduga bermain di perkara niaga PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media. Jaksa memaparkan, berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Putusan telah diberitahukan oleh PN Jakpus 7 Agustus 2015.

Sesuai pasal 295 ayat 2 Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, batas waktu pengajuan PK ialah 180 hari sejak putusan dibacakan. Namun, hingga lebih 180 hari setelah putusan dibacakan, PT AAL tidak mengajukan PK.

Demi menjaga kredibilitas PT AAL yang tengah berperkada di Hongkong, Eddy menugaskan Hesti mengupayakan pengajuan PK di MA. Lalu pada Februari 2016, Hesti kemudian menemui Eddy di PN Jakpus menindaklanjuti perintah Eddy. Hesti melobi Edy agar mau menerima pengakuan PK. Setelah dijanjikan uang Rp juta, Edy pun menerimanya.

Hesti melapor kepada Eddy. Kemudian, Eddy setuju dan menyampaikan bahwa uang akan disiapkan oleh Ervan Adi Nugroho. Penyerahan uang akan dilakukan oleh Doddy di Hotel Acacia, Jakarta, 20 April 2016. Setelah serah terima, Doddy dan Edy Nasution ditangkap petugas KPK.

Atas perbuatannya, Doddy didakwa melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 65 ayat 1 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yuddy Perintahkan Semua Mobil Dinas Disegel


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler