Peguyuban Kades Ancam Boikot Program Jokowi soal PTSL

Rabu, 04 April 2018 – 00:45 WIB
Aparat kepolisian mengamankan aksi massa yang tergabung dalam PKPD dan PPDI Kabupaten Ponorogo di depan kantor DPRD setempat, Senin (2/4). Foto: Latiful Habibi/Radar Ponorogo

jpnn.com, PONOROGO - Operasi tangkap tangan (OTT) kasus dugaan pungutan liar (pungli) program pendaftaran tanah sertifikat lengkap (PTSL) di Desa Ngunut, Babadan, Ponorogo, Jatim, mendapat reaksi balik.

Dalam OTT itu Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo menangkap dan menetapkan kepala dan sekretaris desa serta warga setempat sebagai tersangka, pekan lalu.

BACA JUGA: Jangan Sampai Jokowi Seperti Ahok, Tiba-Tiba Anjlok

Buntutnya, sekitar 100 massa yang tergabung dalam Paguyuban Kepala dan Perangkat Desa (PKPD) dan Peguyuban Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Ponorogo turun ke jalan, Senin (2/4). Ini merupakan aksi solidaritas atas sejawatnya tersebut.

‘’Intinya kami tidak terima atas apa yang menimpa rekan kami,’’ kata Basuki Romdon, kepala Desa Gupolo, Babadan, di sela aksi kemarin.

BACA JUGA: Tok Tok Tok, DPR Setujui Calon Gubernur BI Pilihan Jokowi

Dia menyebut, kepala Desa (kades) Ngunut merupakan teladan bagi para kades lain di Babadan. Jika ada program dari pemerintah, Desa Ngunut jadi rujukan. Menurut Basuki, untuk pelaksanaan program PTSL itu, Desa Ngunut baru mendapat jatah dari BPN sekali tahun ini.

Pelaksanaannya sama dengan desa lain yang mendapat jatah program serupa. ‘’Tapi kenapa (desa) lainnya aman-aman saja. Biaya yang ditarik juga sama, tapi tidak ada masalah,’’ sergahnya.

BACA JUGA: MDHW Apresiasi Langkah Kiai Maruf Ajak Investor Temui Jokowi

Ketua paguyuban kepala desa Kecamatan Babadan itu juga tidak terima jika biaya yang ditarik kelompok masyarakat (pokmas) dikategorikan pungli. Sebab sudah melalui kesepakatan bersama dengan masyarakat. Jika ada regulasi yang dilanggar, menurut dia, itu bukan kesalahan pihak desa. Tapi karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak pernah mensosialisasikannya.

‘’Belum pernah sama sekali disosialisasikan soal aturan (Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, red) itu,’’ ungkapnya.

Karena iru, massa menuntut proses hukum atas sejawatnya dihentikan. Bahkan, kalau bisa ketiga tersangka dibebaskan. Selain itu, pihaknya juga minta ke depan segera dibuatkan payung hukum untuk melindungi pelaksana program PTSL.

Jika tidak, mereka mengancam akan memboikot program Presiden Joko Widodo tersebut. ‘’Kami sudah sepakat mengembalikan program ini. Tidak hanya di Babadan, tapi se-Ponorogo akan dikembalikan,’’ kesalnya.

Pertemuan pihak BPN dengan perwakilan kades tidak membuahkan hasil. Pihak BPN tidak bisa memberi solusi terkait permasalahan yang menjerat sejawatnya itu. Merasa tak puas, masa pun minta program PTSL di Ponorogo ditarik kembali. Mereka juga minta spanduk yang dibentangkan di depan kantor BPN Ponorogo terkait program itu dilepas.

Kepala BPN Ponorogo Sugeng Muljo Santosa membantah tudingan pihaknya belum pernah melakukan sosialisasi program PTSL. Menurut dia, tahapan pertama sebelum program dijalankan adalah sosialisasi. Dalam sosialisasi itu dijelaskan syarat-syaratnya.

Selain itu juga menjelaskan biaya yang ditanggung pemerintah dan harus ditanggung masyarakat. ‘’Kami punya bukti, karena setiap selesai sosialisasi pasti dibuatkan berita acara,’’ dalihnya.

Sugeng menegaskan berita acara sosialisasi itu juga sudah ditandatangani pihak kepala desa. Sehingga, tidak mungkin pihak pemerintah desa (pemdes) tidak tahu. Namun, ketika diminta menunjukkan berita acara itu, dia berkelit. Pun dia mengaku tak bisa berbuat banyak atas kasus di Ngunut.

Pihaknya hanya akan mengkomunikasikan masalah itu dengan pemerintah daerah (pemda) selaku kepanjangan tangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) . ‘’Karena aturan itu dibuat bersama tiga instansi. Selain kami juga ada pemda selaku kepanjangan tangan Kemendagri,’’ jelasnya.

Sugeng juga ogah menyebut besaran biaya yang ditarik pokmas itu sesuai aturan atau tidak. Dia hanya menegaskan dalam SKB tiga menteri sudah disebutkan biaya program PTSL yang dibebankan kepada masyarakat Rp 150 ribu.

Kendati masyarakat ditarik Rp 400 ribu, namun Sugeng tidak mau menyebut itu salah. Dia juga menampik program PTSL masih prematur. ‘’Sudah ada sejak Januari 2017 lalu, jadi tidak benar jika ini terburu-buru,’’ tegasnya.

Setelah mendatangi BPN Ponorogo, massa melanjutkan aksinya ke gedung DPRD Ponorogo. Di sana mereka meminta wakil rakyat agar segera menerbitkan payung hukum pelaksanaan program PTSL. Masa menghentikan aksinya setelah diterima Wakil Ketua DPRD Ponorogo Slamet Hariyanto dan beberapa anggota komisi A.

Mereka juga mendukung keputusan DPRD yang akan mengupayakan penundaan penahanan terhadap ketiga tersangka kasus dugaan pungli program PTSL itu. (tif/sat)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Untuk Urusan Ini, Sebaiknya Pak Jokowi Mencontoh SBY


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler