jpnn.com, JAKARTA - Sesi kedua Konferensi Nasional Etika Kehidupan Berbangsa, yang berlangsung di Gedung Nusantara IV komplek MPR, DPR dan DPD, kemarin membahas tema Kaidah Pelaksanaan Etika Kehidupan Berbangsa.
Ada dua pembicara yang membahas tema tersebut. Keduanya adalah, Prof. Dr. Baqir Manan mantan Ketua MA, dan Mantan Ketua Dewan Press serta Prof. Dr. Sudjito, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajam Mada (UGM) Yogyakarta.
BACA JUGA: Ketua MPR : Hadirkan Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pada kesempatan itu, Baqir mengatakan, ada empat tolak ukur yang bisa dipakai untuk melihat apakah tindakan seorang pejabat publik, beretika atau tidak.
Yaitu, apakah dia tunduk pada aturan atau tidak, menghasilkan sesuatu yang bermanfaat atau tidak, tindakannya itu sendiri berdasarkan kebajikan atau tidak, serta apakah perbuatan itu punya konsekuensi atau tidak.
BACA JUGA: Mangindaan: MPR Akan Bekerja Sama dengan Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila
Selain tolak ukur, etika menurut Baqir, juga memiliki prinsip, yaitu tidak mementingkan diri sendiri, integritas, obyektif, pertanggungjawaban, dan terbuka.
Selain itu menjaga kehormatan, kepemimpinan, berfikir dan bekerja untuk kepentingan orang banyak.
BACA JUGA: MPR Pilih Bicara Soal Buku di Hari Lahir Pancasila
Munculnya persoalan kebangsaan di Indonesia yang terjadi saat ini, menurut Baqir karena terjadi krisis karakter, dan itu membuat bangsa Indonesia sulit keluar dari persoalan.
"Uni Soviet ambruk dalam seminggu, karena negara dijalankan dengan prinsip yang tidak dikehendaki rakyat, makanya begitu ada peluang, merekapun langsung ambruk", kata Baqir Manan menambahkan.
Sementara itu Sudjito mengatakan, etika bernegara akan jalan kalau ada sikap instropeksi dan kendali diri.
Karena etika merupakan nilai yang melekat pada sanubari, bukan faktor eksternal.
"Kebebasan adalah anugrah, silakan berbuat apapun, kecuali yang dilarang. Jadi, lingkup etis itu yang dilarang, dan itu harus denga mengendalikan diri", kata Sudjito.
Tetapi di alam modern, kata Sudjito, hati sanubari saja tak cukup. Butuh kepastian dan ketepatan masa depan.
Karena itu di era modern dibutuhkan positif etik.
"Antara yang tertulis dan tidak harus sejalan, karena itu yang tak tertulis harus tetap ada dan bisa berjalan", kata Sudjito lagi. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sesjen MPR: 1 Juni, Momentum Peningkatan Pemahaman dan Pelaksanaan Pancasila
Redaktur & Reporter : Natalia