Pejuang Yang Tak Diperjuangkan

Minggu, 11 November 2012 – 04:31 WIB
PADA zaman penjajahan, aktivitas di Samarinda hanya berpusat di sekitar Sungai Mahakam. Jauh dari sana, daratan Kota Tepian didominasi hutan belantara. Walau begitu, kawasan rimba ini malah jadi tempat teraman bagi warga Indonesia di Ibu Kota Kaltim berkumpul, lantaran seluruh wilayah dikuasai Belanda.

Keadaan ini, jelas membuat pemuda Samarinda mati kutu. Hutan jadi satu-satunya pelarian, lantaran tentara Belanda hadir di tiap sudut. Keterbatasan ruang gerak ini, juga membuat pemuda tak banyak saling mengenal. Ini jelas membuat pergerakan lemah, dan dominasi Belanda di Kota Tepian tak terelakkan.

Kepada Kaltim Post (JPNN Group), saksi sekaligus pelaku sejarah kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang kini tercatat sebagai Ketua Legiun Veteran RI (LVRI) Samarinda, Pahransyah menuturkan kisah perjuangan itu.

“Samarinda dulu masih daerah pendudukan Belanda. Kalau kumpul-kumpul begini, sudah pasti ditangkap. Kecuali di hutan,” sebutnya saat ditemui usai menghadiri upacara Hari Pahlawan di sekolah swasta, Samarinda Seberang.

Pahransyah kala itu bernaung di bawah Barisan Pemberontak Republik Indonesia. Ia dan pemuda lainnya, bermarkas di Kelurahan Gunung Lingai. Berpapasan dengan Belanda saja, Pahransyah harus berlari mengamankan diri ke hutan. Makan pun seadanya. “Keadaannya memang berbeda dengan Jogjakarta yang waktu itu ibu kota negara,” ucap pria kelahiran 3 Januari 1927.

Samarinda, kata dia, memulai perlawanan pada penjajah sejak kedatangan sosok pemuda asal Manado, Sulawesi Utara bersama beberapa rekannya yang memiliki persenjataan lengkap. Sejak itu, pertempuran dengan Belanda mencuat. Ini ditandai dengan berdirinya empat tugu yang menandakan peristiwa perjuangan pemuda Kota Tepian meruntuhkan dominasi Belanda. Empat tugu ini berdiri di daerah Teluk Lerong, Damanhuri, Jalan Suryanata, dan jalan poros menuju Anggana.
“Jadi, Samarinda bukan tak pernah bertempur. Pernah ada sampai delapan orang meninggal,” ujarnya.

Kabarnya, pejuang-pejuang ini turut bertempur dalam peristiwa Merah Putih di Sanga-Sanga pada 1947. Bersama laskarnya, Pahransyah yang asli kelahiran Samarinda beberapa kali mendapat pelatihan senjata. Dari situ, oleh satuannya, ia dikirim ke Jogjakarta. Ibu kota negara kala itu tengah genting, lantaran Belanda kembali melakukan agresi militer atau yang dikenal dengan sebutan Operasi Gagak. Ke sana, ia harus melewati jalan liku menuju Banjarmasin, kemudian Jakarta, sebelum tiba di Jogjakarta. Itupun, ia harus menyamar lantaran menumpangi kapal milik Belanda.

Kejadian mengharukan berlangsung setibanya Pahransyah di Pelabuhan Tanjung Priok. Di sana berdiri gagah tiang dengan bendera merah putih di atasnya berkibar menjulang langit. Tetes air mata mulai membasahi pipinya melihat pemandangan itu. Wajar, pada masa itu bendera Indonesia kerap tersingkir bendera penjajah. Apalagi di Samarinda. “Tapi di sana sehari Belanda, sehari Indonesia. Saya juga bingung bagaimana politik di sana waktu itu,” kenangnya.

Ya, seperti tercatat dalam buku sejarah, Operasi Gagak terjadi pada Desember 1948. Agresi ini diawali serangan terhadap Jogjakarta, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh negara lain. Keadaan ini, membuat dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Hari pertama agresi Belanda jilid II ini, penjajah menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo, kemudian bergegas ke Jogjakarta.  “Saat itu, (Jenderal) Sudirman yang sedang sakit, keluar menghadap (Presiden) Soekarno sebelum ditangkap Belanda untuk izin bergerilya. Pemerintahan waktu itu dipindahkan ke Sumatera oleh Sjafruddin. Di sana kami mempertahanakan Jogja mati-matian. Di dalam itu, berbarengan juga perundingan Meja Bundar. Apabila saat itu tak bisa pertahankan Jogja, maka kita bisa dijajah kembali. Jadi di sanalah saya anggap ketentuan Indonesia merdeka atau tidak,” kisah Pahransyah.

Ia turut jadi saksi dan pelaku perjuangan ketika Soedirman meninggalkan Jogjakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh hingga 1.000 kilometer di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kala itu, pemuda Tanah Air memang sedang tak kondusif lantaran gontok-gontokan antar kelompok pemuda. Hal inilah yang dimanfaatkan tentara Belanda untuk menyerang. “Maka diseranglah dengan ucapan paling sombong, ‘dua minggu, selesai itu semua,’ dikatakan oleh jenderal tentara Belanda,” katanya lagi.

Masa-masa itu, ditutup dengan perundingan Meja Bundar, Desember 1949, yang mengakui kedaulatan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Walau Irian Barat sempat ditahan Belanda setelahnya, pejuang Tanah Air berhasil mengusir dan menjaga kedaulatan Tanah Air. “Ketika saya kembali ke Samarinda, tentara Belanda mulai meninggalkan Indonesia,” kata dia.

Kini, sejak kemerdekaan, hutan belantara tak lagi mendominasi Samarinda. Pusat kegiatan di Ibu Kota Kaltim ini pun makin meluas. Setiap orang dapat bersekolah setinggi-tingginya. Bertolak belakang dengan masa dulu, ketika Pahransyah dan sebayanya hanya bisa bersekolah sampai SD.

Yang makin membuatnya miris, kemerdekaan RI kerap disebut sebagai hadiah, lantaran Jepang yang ketika itu menduduki Indonesia diluluhlantakkan Amerika dan menyerah tanpa syarat pada sekutu. Anggapan itu jelas membuatnya geram. Apalagi ia turut berjuang mengibarkan bendera merah putih di puncak tertinggi. “Ini jerih payah sendiri!” tegasnya.

Hal-hal baik, semangat perjuangan kemerdekaan, perlu tertanam sebagai jiwa nasional pada penerus bangsa. “Bukannya meniru hal-hal yang tidak baik. Saya juga mau menangis melihat keadaan sekarang ini,” ujarnya.

Selain sikap bangsa yang terus bergeser, ia juga mengeluhkan kebijakan pemerintah yang cenderung kurang perhatian pada veteran perang. Kini, ia hanya menikmati masa tuanya seadanya. Tinggal bersama anaknya, Pahransyah berharap veteran memiliki perumahan khusus yang hingga kini belum terealisasi juga. “Tapi memang ada. Sekarang ada kantor yang mau dibangun. Itu pun sejak lama saya perjuangkan,” sebut Pahransyah yang telah 10 tahun menjadi Ketua LVRI Samarinda.

Mendirikan bangunan, tentu tak cukup jika kesejahteraan veteran belum terpenuhi. Padahal, Samarinda memiliki kekayaan alam yang terus digali demi keuntungan pihak tertentu. Tapi, santunan pada veteran malah minim. Apa yang diterima mereka kini, jelas tak sebanding dengan yang mereka berikan pada negara. “Sangat saya sesalkan, pemerintah perhatiannya kurang,” sesalnya. (*/bby/wan/k4)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPD Dukung Pemekaran Pesisir Selatan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler