jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto meminta agar Presiden Joko Widodo membatalkan rencana revisi Peraturan Pemerintah 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Hal ini bertujuan untuk menjaga kelangsungan sektor industri hasil tembakau (IHT) dan tenaga kerja di dalamnya.
BACA JUGA: Bea Cukai Sosialisasikan Cukai Rokok dan Minuman Mengandung Etil Alkohol, Masyarakat Harus Tahu
Ia mengatakan, di tengah situasi sulit akibat pandemi Covid-19, revisi PP 109/2012 dinilai akan memberikan tekanan luar biasa terhadap IHT. Revisi tersebut, di antaranya, memperbesar peringatan kesehatan menjadi 90% dan larangan total iklan serta promosi produk. Hal ini tentunya akan berdampak langsung bagi kinerja IHT.
Sudarto menambahkan, saat ini belum ada inisiatif konkret untuk melindungi para pekerja yang terlibat dalam IHT. Padahal, hal ini disyaratkan pada Perpres 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.
BACA JUGA: Bea Cukai Optimalkan Pengawasan Cukai Rokok
“Saat ini, IHT dan pekerjanya harus berjuang sendiri mempertahankan kelangsungan usaha di tengah himpitan pandemi dan berbagai pemberitaan yang mendiskreditkan IHT. Faktanya sampai hari ini tidak ada sektor industri lain yang mampu menyerap petani tembakau dan pekerja industrinya, terlebih dapat memberikan kompensasi ekonomi yang setidaknya sama dengan IHT,” tegas Sudarto.
Ia khawatir, revisi yang memperberat IHT akan berujung pada pilihan sulit, yaitu PHK para pekerja IHT.
BACA JUGA: Bea Cukai Sita Ratusan Ribu Batang Rokok Ilegal di Kudus dan Pekanbaru
“Angka pengangguran sudah mencapai 9,7 juta orang. Kami mohon kebijaksanaan Bapak Presiden dan jajaran Pemerintahan untuk menghentikan diskusi rencana revisi PP 109/2012 agar kami bisa melanjutkan kehidupan dengan bekerja di sektor IHT di tengah situasi ekonomi yang sulit dan tidak menentu,” ujar Sudarto.
Dijelaskan Sudarto, tujuan revisi PP 109/2012 adalah untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Ironisnya, PP 109/2012 justru sudah jelas mencantumkan larangan penjualan rokok pada anak di bawah umur dan wanita hamil. Dengan demikian, kuncinya adalah penegakan aturan, bukan revisi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi konsumen dewasa juga sudah turun dari 29,3% di tahun 2013 menjadi 28,8% di tahun 2018. Ini menunjukkan bahwa PP 109/2012 sebagai regulasi yang mengendalikan konsumsi tembakau sudah berhasil.
Untuk menjaga kelangsungan sektor IHT demi tenaga kerja di dalamnya, RTMM juga meminta agar penyusunan kebijakan cukai mempertimbangkan kemampuan industri dan daya beli masyarakat. Selain itu memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan terdampak dilibatkan proses perumusan kebijakan terkait IHT.
"Tenaga kerja IHT, anggota kami juga rakyat Indonesia. Kami mohonkan perhatian dari Bapak Menteri Kesehatan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat maka jangan terpengaruh dorongan- dorongan kelompok yang mengatasnamakan kesehatan tapi tidak mempertimbangkan keadaan di Indonesia," katanya.
Sudarto mengatakan, ada intervensi asing yang bertujuan mematikan para pemangku kepentingan IHT, termasuk buruh dan petani tembakau serta cengkih. Intervensi ini dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat. Padahal, mereka tidak memahami keadaan dan kondisi di Indonesia.
"Mereka semata-mata memaksakan kepentingan organisasinya saja," kata Sudarto.
Ia pun meminta Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk mewaspadai intervensi asing tersebut. "Kami memberikan apresiasi kepada Bapak Menkes yang memiliki komitmen tinggi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam menjaga kesehatan masyarakat," tutupnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil