jpnn.com, JAKARTA - Ketua Federasi Pangan Indonesia (IPF) Henky Wibawa mengatakan pelabelan semua kemasan makanan dan minuman yang beredar di pasaran dengan mencantumkan keterangan lolos batas uji aman zat aditif tertentu, dapat mematikan industri pangan.
Oleh karena itu, pihaknya menolak keras wacana yang digulirkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tersebut.
BACA JUGA: Hadirkan Global Packaging Conference, IPF dan WPO Menjawab Tantangan Kemasan Berkelanjutan
"Kami enggak jualan jadinya, mati semua kami punya produk,” kata Henky, Senin (20/9).
Dia kembali menegaskan bahwa wacana penerapan pelabelan semua kemasan makanan dan minuman itu jelas akan mematikan industri.
BACA JUGA: Potongan Fee Levy Danai IPF
“Belum lagi konsumen akan kesulitan mencari makanan dan minuman karena enggak ada yang menjual produknya,” ungkapnya.
Henyk tidak mempersoalkan aturan pelabelan kemasan pangan apabila infrastrukturnya sudah siap.
BACA JUGA: Suplemen PRO EM 1 Asal Malang Resmi Go International, Kepala BPOM Bangga
Namun, kata dia, masalahnya ialah BPOM belum tentu bisa menyediakan akreditas di laboratorium yang cukup di Indonesia.
Menurut dia, penelitian di Amerika Serikat mengungkap bahwa 70 persen kemasan makanan minuman kaleng menggunakan pelapis berbahan polikarbonat (PC) pada 2016.
Hingga saat ini, pengujian serupa belum dilakukan di Indonesia.
Sebab, belum ada kesiapan uji laboratorium.
Menurut Henky, hal tersebut terjadi akibat jumlah laboratorium yang dimiliki BPOM di Indonesia masih sangat terbatas.
"Saya dulu saja di perusahaan multinasional harus melakukan tes itu di luar negeri dengan biaya yang sangat mahal karena BPOM tidak bisa melakukannya,” tuturnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengatakan industri makanan dan minuman adalah penyumbang kontribusi terbesar sektor industri pengolahan nonmigas pada Triwulan II-2021 yang mencapai 38,42 persen, dan memberikan produk domestik bruto (PDB) nasional hingga 6,66 persen.
Capaian kumulatif sektor strategis ini juga terjadi pada sisi ekspor yang mencapai USD 12,58 miliar atau naik hingga 42,59 persen dari tahun sebelumnya.
Menurut Putu Juli, hasil dari industri makanan dan minuman ini perlu dijaga untuk memasok kebutuhan pangan masyarakat.
Dia menyatakan industri makanan dan minuman selama ini telah membawa dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional.
“Seperti peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, penerimaan devisa dari investasi dan ekspor hingga penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak,” papar Putu Juli.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi mengatakan kebijakan itu perlu dikoordinasikan terlebih dulu dengan para pelaku usaha.
"Ini, kan, mengakomodasi tiga pihak, yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen. Kalau pemerintah itu membuat peraturan tetapi tidak bisa diimplementasikan, kan, konyol namanya,” ujar Sularsi.
Dia menyampaikan selama ini pelabelan kemasan pangan sudah diatur bahwa kemasan itu harus menggunakan bahan-bahan yang sudah dipastikan keamanannya untuk makanan atau minuman yang akan dikemas dengan wadah tersebut.
Kemasan plastik seperti galon, lanjut Sularsi, bahkan sudah ada standar yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian.
Polemik wacana pelabelan ini dimulai dengan munculnya sebuah organisasi bernama Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL) yang sejak tahun lalu mengusung isu potensi kandungan BPA pada galon kemasan polikarbonat yang telah puluhan tahun dikonsumsi secara aman oleh masyarakat Indonesia.
Untuk diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengategorikan info tentang isu BPA ini sebagai hoaks jenis disinformasi atau berita bohong yang disebarkan dengan tujuan tertentu. (mcr9/jpnn)
Redaktur : Boy
Reporter : Dea Hardianingsih