TARAKAN - Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kota Tarakan, Mariyam mengungkapkan adanya jaringan prostitusi yang melibatkan pelajar. Mariyam mengaku, saat ini profesi tersebut tidak hanya melibatkan pelajar dari satu sekolah, melainkan sudah menjamah ke sejumlah satuan pendidikan yang ada di Tarakan.
"Memang ada dua anak sekolah yang ditangkap Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) masih berpakaian sekolah, dan dari keterangan mereka, kami indikasikan adanya jaringan (prostitusi) di kalangan anak sekolah,"ÃÂterang Mariyam seperti diberitakan Radar Tarakan, Senin (18/2).
Bahkan saat dimintai keterangan lebih lanjut, diketahui lagi bahwa penggerak jaringan ini berperilaku layaknya seorang pelajar, namun ia merekrut anak-anak sekolah yang disambanginya. Yang lebih memprihatinkan lagi, pelajar yang dilibatkan oleh oknum penjajak seks ini mulai dari SMP (Sekolah Menengah Pertama) sampai SMA (Sekolah Menengah Atas).
Sayangnya, keterlibatan pelajar yang sudah terjerumus di dalam jaringan ini tak banyak diketahui oleh orangtua siswa itu sendiri. Kebanyakan dari pelajar yang terlibat, sengaja memisahkan diri dari keluarga dengan menyewa kost-kostan. Mereka dicekoki dengan mental rendahan bahwa dengan berpakaian seragam bak pelajar putri pada umumnya, diyakini lebih mampu menggaet para pria hidung belang.
"Mereka biasanya dijemput oleh laki-laki tak dikenal ketika masih memakai seragam sekolah, kemudian dibawa ke tempat-tempat tertentu seperti kost-kostan,"ÃÂ jelas Mariyam.
Dikatakan Mariyam, prostitusi ini sangat tertutup dan terkoordinir rapi dikendalikan seseorang (mami) yang sampai saat ini masih leluasa bergerak. Ia menjelaskan pelaku penjaja seks yang dicari memang tidak semua anak sekolah, ada beberapa diantaranya merupakan remaja putus sekolah, tapi tetap saat beraksi, mereka diharuskan menggunakan seragam sekolah. Ya, semacam merek dagangnya.
"Para pria hidung belang justru mau membayar tarif lebih besar, kalau statusnya masih sekolah. Jadi meskipun sudah tidak sekolah, tetapi saja mereka pakai seragamnya,"ÃÂ urai Mariyam.
Mariyam mengatakan bahwa dari hasil penangkapan Satpol PP tersebut, pihaknya juga memperoleh informasi bahwa jaringan ini sudah bergerak selama 3 tahun belakangan. "Ini sudah mengakar sejak bertahun-tahun lamanya, bahkan dua atau tiga tahun yang lalu. Kelompok-kelompok ini sudah mengakar,"ÃÂ ulas Mariyam. Tak hanya itu, dari keterangan dua oknum pelajar tersebut, ada beberapa pelanggan tetap yang sering menggunakan jasa prostitusi ini.
Ada tarif khusus yang dipatok WPS pelajar ini. "Mereka sih jujur memberikan infonya, kalau untuk yang "˜belah duren" (masih perawan) tarifnya Rp 3 juta, setelah itu berikutnya tarifnya mulai Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribuan kalau dia masih sekolah. Makanya, meskipun sudah putus sekolah tapi masih berpakaian sekolah,"ÃÂ ungkap Mariyam.
Dan, seperti yang disebutkan diatas, bahwa indikasi pelajar yang tergoda menelusuri bisnis ini adalah selalu menggunakan kost sebagai tempat pelarian dari orangtua. "Kebanyakan mereka mengaku "ngekost" karena letak sekolah yang jauh dari rumah. Kost dijadikan alasan bagi pelajar seperti ini untuk melakukan aksinya tersebut,"ÃÂ terang Mariyam seraya menegaskan bahwa motif pendorong para pelajar putri memasuki dunia hitam ini, yang terutama adalah tekanan ekonomi.
"Meskipun masih terbilang pelajar, namun keinginan anak remaja saat ini yang cenderung ingin dikatakan "gaul" mendesak mereka untuk menjual harga diri mereka. Mereka kadang didesak keinginan punya ponsel keren, atau barang-barang milik temannya yang Ia tidak punya, sehingga nekad bergabung di dalamnya,"ÃÂ imbuh Mariyam mengakhiri.
Selain WPS (wanita Penjaja Sek) pelajar, di Tarakan juga mulai berkembang gaya hidup lainnya, seperti munculnya kaum gay, LSL (Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki-laki), Waria (Wanita-Pria) dan lainnya. Berdasarkan pemetaan populasi kunci di Tarakan oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Tarakan yang dilakukan sejak awal Desember 2012, diketahui ada 191 orang WPS tidak langsung, Waria sebanyak 63 orang, gay sebanyak 11 orang, LSL sebanyak 35 orang, dan WPS langsung sebanyak 167 orang.
Lalu bagaimana dengan komunitas lesbian? "Lesbian tidak masuk dalam populasi kunci yang kita petakan, lantaran mereka tidak tergolong beresiko tinggi untuk menularkan atau tertular penyakit menular seksual atau AIDS,"ÃÂ ungkap Syahaddan, Sekretaris KPA Kota Tarakan.
Pemetaan ini khusus dilakukan terhadap masyarakat yang disebut rentan mengidap dan menularkan penyakit menular seksual seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan lainnya. Selain itu, juga sebagai acuan bagi KPA dan institusi berkepentingan seperti Dinas Kesehatan, VCT (Voluntary Counseling Test), PMI (Palang Merah Indonesia) dan lainnya untuk menentukan program kerja terkait penanggulangan AIDS kedepan.
Dalam kegiatan pemetaannya, KPA melibatkan tenaga pendata, komunitas dari tiap populasi kunci, PMI dan lainnya. "Kita harapkan, dari hasil pemetaan ini diperoleh data lengkap sesuai fakta di lapangan,"ÃÂ ulas Syahaddan yang ditemui di Kantor Walikota Tarakan.
Proses pemetaan itu sudah berakhir awal tahun ini, dan kini data yang diperoleh tengah dirangkum untuk masuk ke tahap finalisasi. Adapun kesimpulan sementara yang diperoleh KPA dari hasil pemetaan itu, adalah adanya pertambahan populasi kunci yang cukup signifikan dari sebelumnya. Bahkan, ada komunitas kunci yang dulu tidak terdeteksi eksistensinya, kini telah sedikit terbuka. Salah satu komunitas kunci yang cukup mencolok pertambahan populasinya adalah WPS dan LSL.
Lebih jauh, Syahaddan mengungkapkan bahwa kecenderungan pertambahan populasi kunci ini disebabkan oleh faktor psikologis yang mendorong seseorang untuk menjalani perilaku seksual yang berbeda dengan masyarakat umumnya. Lalu faktor lingkungan atau sosial-ekonomi. "Selain itu, juga bisa disebabkan oleh pengaruh perkembangan dinamika kota yang berjalan terus. Akibatnya, mendorong seseorang untuk mengikuti gaya hidup yang cenderung berbeda dengan masyarakat pada umumnya,"ÃÂ urai Syahaddan. "Salah saya contohnya adalah komunitas gay. Dulu tidak ada yang mengira bahwa komunitas gay ada di Tarakan, namun belakangan diketahui komunitas gay itu ada,"ÃÂ imbuh Syahaddan.
Berbincang lebih jauh soal komunitas gay, Syahaddan mengaku bahwa komunitas ini cenderung sangat tertutup dari dunia luar. Jadi, wajar kalau masyarakat awam tidak mengetahui keberadaan mereka, khususnya masyarakat Tarakan yang masih condong mengandalkan norma agama dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. "Berbeda dengan kota-kota besar lainnya, komunitas gay di Tarakan tidak memiliki wadah khusus,"ÃÂ ungkap Syahaddan seraya menyebutkan bahwa motif seseorang untuk menjadi gay ada dua, pertama masalah ekonomi (menjajakan seks) dan psikologis.
Berawal dari itu, Syahaddan selaku institusi yang mengawasi keberadaan komunitas gay serta komunitas kunci lainnya, berharap masyarakat Tarakan serta masyarakat lainnya dapat memberikan respon positif terhadap keberadaan mereka. "Jangan sampai ada diskriminasi kepada mereka, ataupun respon negatif. Itu harapan kami,"ÃÂ singkatnya.(rif/ndy)
"Memang ada dua anak sekolah yang ditangkap Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) masih berpakaian sekolah, dan dari keterangan mereka, kami indikasikan adanya jaringan (prostitusi) di kalangan anak sekolah,"ÃÂterang Mariyam seperti diberitakan Radar Tarakan, Senin (18/2).
Bahkan saat dimintai keterangan lebih lanjut, diketahui lagi bahwa penggerak jaringan ini berperilaku layaknya seorang pelajar, namun ia merekrut anak-anak sekolah yang disambanginya. Yang lebih memprihatinkan lagi, pelajar yang dilibatkan oleh oknum penjajak seks ini mulai dari SMP (Sekolah Menengah Pertama) sampai SMA (Sekolah Menengah Atas).
Sayangnya, keterlibatan pelajar yang sudah terjerumus di dalam jaringan ini tak banyak diketahui oleh orangtua siswa itu sendiri. Kebanyakan dari pelajar yang terlibat, sengaja memisahkan diri dari keluarga dengan menyewa kost-kostan. Mereka dicekoki dengan mental rendahan bahwa dengan berpakaian seragam bak pelajar putri pada umumnya, diyakini lebih mampu menggaet para pria hidung belang.
"Mereka biasanya dijemput oleh laki-laki tak dikenal ketika masih memakai seragam sekolah, kemudian dibawa ke tempat-tempat tertentu seperti kost-kostan,"ÃÂ jelas Mariyam.
Dikatakan Mariyam, prostitusi ini sangat tertutup dan terkoordinir rapi dikendalikan seseorang (mami) yang sampai saat ini masih leluasa bergerak. Ia menjelaskan pelaku penjaja seks yang dicari memang tidak semua anak sekolah, ada beberapa diantaranya merupakan remaja putus sekolah, tapi tetap saat beraksi, mereka diharuskan menggunakan seragam sekolah. Ya, semacam merek dagangnya.
"Para pria hidung belang justru mau membayar tarif lebih besar, kalau statusnya masih sekolah. Jadi meskipun sudah tidak sekolah, tetapi saja mereka pakai seragamnya,"ÃÂ urai Mariyam.
Mariyam mengatakan bahwa dari hasil penangkapan Satpol PP tersebut, pihaknya juga memperoleh informasi bahwa jaringan ini sudah bergerak selama 3 tahun belakangan. "Ini sudah mengakar sejak bertahun-tahun lamanya, bahkan dua atau tiga tahun yang lalu. Kelompok-kelompok ini sudah mengakar,"ÃÂ ulas Mariyam. Tak hanya itu, dari keterangan dua oknum pelajar tersebut, ada beberapa pelanggan tetap yang sering menggunakan jasa prostitusi ini.
Ada tarif khusus yang dipatok WPS pelajar ini. "Mereka sih jujur memberikan infonya, kalau untuk yang "˜belah duren" (masih perawan) tarifnya Rp 3 juta, setelah itu berikutnya tarifnya mulai Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribuan kalau dia masih sekolah. Makanya, meskipun sudah putus sekolah tapi masih berpakaian sekolah,"ÃÂ ungkap Mariyam.
Dan, seperti yang disebutkan diatas, bahwa indikasi pelajar yang tergoda menelusuri bisnis ini adalah selalu menggunakan kost sebagai tempat pelarian dari orangtua. "Kebanyakan mereka mengaku "ngekost" karena letak sekolah yang jauh dari rumah. Kost dijadikan alasan bagi pelajar seperti ini untuk melakukan aksinya tersebut,"ÃÂ terang Mariyam seraya menegaskan bahwa motif pendorong para pelajar putri memasuki dunia hitam ini, yang terutama adalah tekanan ekonomi.
"Meskipun masih terbilang pelajar, namun keinginan anak remaja saat ini yang cenderung ingin dikatakan "gaul" mendesak mereka untuk menjual harga diri mereka. Mereka kadang didesak keinginan punya ponsel keren, atau barang-barang milik temannya yang Ia tidak punya, sehingga nekad bergabung di dalamnya,"ÃÂ imbuh Mariyam mengakhiri.
Selain WPS (wanita Penjaja Sek) pelajar, di Tarakan juga mulai berkembang gaya hidup lainnya, seperti munculnya kaum gay, LSL (Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki-laki), Waria (Wanita-Pria) dan lainnya. Berdasarkan pemetaan populasi kunci di Tarakan oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Tarakan yang dilakukan sejak awal Desember 2012, diketahui ada 191 orang WPS tidak langsung, Waria sebanyak 63 orang, gay sebanyak 11 orang, LSL sebanyak 35 orang, dan WPS langsung sebanyak 167 orang.
Lalu bagaimana dengan komunitas lesbian? "Lesbian tidak masuk dalam populasi kunci yang kita petakan, lantaran mereka tidak tergolong beresiko tinggi untuk menularkan atau tertular penyakit menular seksual atau AIDS,"ÃÂ ungkap Syahaddan, Sekretaris KPA Kota Tarakan.
Pemetaan ini khusus dilakukan terhadap masyarakat yang disebut rentan mengidap dan menularkan penyakit menular seksual seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan lainnya. Selain itu, juga sebagai acuan bagi KPA dan institusi berkepentingan seperti Dinas Kesehatan, VCT (Voluntary Counseling Test), PMI (Palang Merah Indonesia) dan lainnya untuk menentukan program kerja terkait penanggulangan AIDS kedepan.
Dalam kegiatan pemetaannya, KPA melibatkan tenaga pendata, komunitas dari tiap populasi kunci, PMI dan lainnya. "Kita harapkan, dari hasil pemetaan ini diperoleh data lengkap sesuai fakta di lapangan,"ÃÂ ulas Syahaddan yang ditemui di Kantor Walikota Tarakan.
Proses pemetaan itu sudah berakhir awal tahun ini, dan kini data yang diperoleh tengah dirangkum untuk masuk ke tahap finalisasi. Adapun kesimpulan sementara yang diperoleh KPA dari hasil pemetaan itu, adalah adanya pertambahan populasi kunci yang cukup signifikan dari sebelumnya. Bahkan, ada komunitas kunci yang dulu tidak terdeteksi eksistensinya, kini telah sedikit terbuka. Salah satu komunitas kunci yang cukup mencolok pertambahan populasinya adalah WPS dan LSL.
Lebih jauh, Syahaddan mengungkapkan bahwa kecenderungan pertambahan populasi kunci ini disebabkan oleh faktor psikologis yang mendorong seseorang untuk menjalani perilaku seksual yang berbeda dengan masyarakat umumnya. Lalu faktor lingkungan atau sosial-ekonomi. "Selain itu, juga bisa disebabkan oleh pengaruh perkembangan dinamika kota yang berjalan terus. Akibatnya, mendorong seseorang untuk mengikuti gaya hidup yang cenderung berbeda dengan masyarakat pada umumnya,"ÃÂ urai Syahaddan. "Salah saya contohnya adalah komunitas gay. Dulu tidak ada yang mengira bahwa komunitas gay ada di Tarakan, namun belakangan diketahui komunitas gay itu ada,"ÃÂ imbuh Syahaddan.
Berbincang lebih jauh soal komunitas gay, Syahaddan mengaku bahwa komunitas ini cenderung sangat tertutup dari dunia luar. Jadi, wajar kalau masyarakat awam tidak mengetahui keberadaan mereka, khususnya masyarakat Tarakan yang masih condong mengandalkan norma agama dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. "Berbeda dengan kota-kota besar lainnya, komunitas gay di Tarakan tidak memiliki wadah khusus,"ÃÂ ungkap Syahaddan seraya menyebutkan bahwa motif seseorang untuk menjadi gay ada dua, pertama masalah ekonomi (menjajakan seks) dan psikologis.
Berawal dari itu, Syahaddan selaku institusi yang mengawasi keberadaan komunitas gay serta komunitas kunci lainnya, berharap masyarakat Tarakan serta masyarakat lainnya dapat memberikan respon positif terhadap keberadaan mereka. "Jangan sampai ada diskriminasi kepada mereka, ataupun respon negatif. Itu harapan kami,"ÃÂ singkatnya.(rif/ndy)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Angkut Pisang Curian, Sopir Angkot Dikepung Warga
Redaktur : Tim Redaksi