JAKARTA – Pemberlakuan Qanun atau Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh, dinilai telah keluar dari tujuan utama yang semula untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Dari data yang dikumpulkan Jaringan Pemantau 231, qanun itu pada praktiknya justru mengancam keberadaan perempuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Koordinator Jaringan Pemantau 231, Andi Adriana, mencontohkan salah satu qanun yang melarang anak perempuan dan laki-laki duduk berduaan. Anak perempuan dan laki-laki yang kedapatan berduaan akan dihukum oleh masyarakat luas.
“Jadi dalam praktiknya yang menghukum itu bukan penegak hukum. Kadang mereka bahkan langsung dinikahkan secara paksa atau disiram dengan air comberan," ujar Adriana di Jakarta, Selasa (4/6).
Adriana juga mengkritisi pemberlakuan qanun yang justru bertentangan dengan sejarah perempuan Aceh yang menduduki derajat sangat terhormat di tengah masyarakat. Menurutnya, kondisi ini benar-benar memperlihatkan penurunan yang luar biasa karena pada masa lalu perempuan Aceh terlihat begitu begitu masyhur.
Bahkan, Adriana menilai pemberlakuan qanun mengakibatkan semakin tingginya sikap intoleran terhadap kelompok perempuan di Aceh. Hal ini terlihat dengan meningkatnya kasus kekerasan sepanjang tahun 2011 hingga 2012 yang mencapai 1.060 kasus.
“Untuk kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), itu dari yang sebelumnya 189 kasus pada tahun 2011, meningkat menjadi 224 kasus di tahun 2012. Data tersebut juga memerlihatkan 148 kasus lain merupakan kekerasan seksual berupa pemerkosaan,” katanya.
Adriana menyebutkan, mayoritas korban pemerkosaan atau kekerasan seksual adalah anak-anak berusia 13-18 tahun. Parahnya, mayoritas pelaku kekerasan (82,7 persen) adalah orang yang dikenal dengan baik oleh korban. "Ini menunjukkan tidak adanya jaminan perempuan, khususnya anak perempuan akan terlindungi dari tindak kekerasan, meskipun bersama orang-orang terdekatnya," tegasnya.
Yang lebih disayangkan, lanjutnya, para korban justru mendapat penolakan di tengah masyarakat, terutama dalam hal pendidikan. "Mereka akhirnya putus sekolah karena sekolah tidak mau menerima. Ia dianggap memberi contoh yang tidak baik," ujarnya.(gir/jpnn)
Koordinator Jaringan Pemantau 231, Andi Adriana, mencontohkan salah satu qanun yang melarang anak perempuan dan laki-laki duduk berduaan. Anak perempuan dan laki-laki yang kedapatan berduaan akan dihukum oleh masyarakat luas.
“Jadi dalam praktiknya yang menghukum itu bukan penegak hukum. Kadang mereka bahkan langsung dinikahkan secara paksa atau disiram dengan air comberan," ujar Adriana di Jakarta, Selasa (4/6).
Adriana juga mengkritisi pemberlakuan qanun yang justru bertentangan dengan sejarah perempuan Aceh yang menduduki derajat sangat terhormat di tengah masyarakat. Menurutnya, kondisi ini benar-benar memperlihatkan penurunan yang luar biasa karena pada masa lalu perempuan Aceh terlihat begitu begitu masyhur.
Bahkan, Adriana menilai pemberlakuan qanun mengakibatkan semakin tingginya sikap intoleran terhadap kelompok perempuan di Aceh. Hal ini terlihat dengan meningkatnya kasus kekerasan sepanjang tahun 2011 hingga 2012 yang mencapai 1.060 kasus.
“Untuk kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), itu dari yang sebelumnya 189 kasus pada tahun 2011, meningkat menjadi 224 kasus di tahun 2012. Data tersebut juga memerlihatkan 148 kasus lain merupakan kekerasan seksual berupa pemerkosaan,” katanya.
Adriana menyebutkan, mayoritas korban pemerkosaan atau kekerasan seksual adalah anak-anak berusia 13-18 tahun. Parahnya, mayoritas pelaku kekerasan (82,7 persen) adalah orang yang dikenal dengan baik oleh korban. "Ini menunjukkan tidak adanya jaminan perempuan, khususnya anak perempuan akan terlindungi dari tindak kekerasan, meskipun bersama orang-orang terdekatnya," tegasnya.
Yang lebih disayangkan, lanjutnya, para korban justru mendapat penolakan di tengah masyarakat, terutama dalam hal pendidikan. "Mereka akhirnya putus sekolah karena sekolah tidak mau menerima. Ia dianggap memberi contoh yang tidak baik," ujarnya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... September, Bandara Kualanamu Diresmikan SBY
Redaktur : Tim Redaksi