Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak Didominasi Guru

Sabtu, 27 Desember 2014 – 10:21 WIB

jpnn.com - SURABAYA – Kasus kekerasan seksual pada anak masih menjadi kasus tertinggi yang terjadi di Jatim sepanjang tahun 2014. Berdasarkan rekap data yang masuk di Telepon Sahabat Anak (TeSa) 129, tercatat sebanyak 47 kasus kekerasan seksual terjadi pada anak. Jumlah itu meningkat dari tahun lalu yang berjumlah 20 kasus atau meningkat sebesar 52 persen.

Ketua TeSa Jatim Isa Ansori menuturkan bahwa sepanjang tahun 2014, sebanyak 97 kasus kekerasan anak terjadi. Dari puluhan kasus itu, Surabaya berada di posisi paling atas untuk kekerasan seksual. Bahkan, yang mengejutkan, menurut Isa, pelaku terbanyak yang melakukan kekerasan seksual ini adalah guru.

BACA JUGA: Majelangka Antisipasi BBM Langka di Malam Tahun Baru

“Dari laporan yang masuk, mayoritas melaporkan bahwa guru sebagai pelaku pelecehan seksual,” tutur Isa.

Menurut dia, hal itu terjadi lantaran guru belum memahami batas-batas yang tepat untuk memperlakukan siswanya. Yang biasanya dimulai dengan sentuhan ringan mendidik hingga akhirnya mencapai tindakan pencabulan. Oleh karena itu, dia menyebutkan bahwa sebagai anak, siswa juga harus paham tentang edukasi seksual. Misalnya, edukasi mengenai batas-batas bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Sehingga, begitu ada yang melakukan hal tersebut, anak bisa segera melapor kepada yang berwajib. Minimal ke wali kelas atau ke orang tua.

BACA JUGA: Dihantam Mobil Box, Penunggang Satria Tewas

Menurut Isa, hal itu bisa menghindarkan perbuatan cabul oleh guru mereka di sekolah. Kasus lain yang menonjol sepanjang tahun 2014 adalah penelantaran pendidikan.

Pada 2013, laporan kasus ini berjumlah 16. Pada 2014, jumlahnya meningkat seratus persen menjadi 32 kasus. Kasus ini banyak dialami siswa hamil yang akhirnya dikeluarkan dari sekolah, terutama menjelang ujian nasional (UN).

BACA JUGA: Demi Bansos, Oknum Dewan dari PDIP Dilapor Palsukan Teken Kades

“Kasus ini paling banyak terjadi di Surabaya,” terangnya.

Menurut Isa, kasus penelantaran ini harus menjadi perhatian khusus dinas pendidikan dan pihak terkait. Pasalnya, sesuai ketentuan, siswa hamil tidak
boleh dikeluarkan dari sekolah.

”Penyelesaian yang ada sekarang tidak menonjolkan hak anak. Mereka justru dipaksa untuk menerima keputusan keluar dari sekolah,” terangnya.

Selain laporan langsung, pihaknya juga mengumpulkan data melalui konseling, SMS gate way, dan data yang dihimpun dari media massa. Total seluruh kasus kekerasan anak sepanjang tahun 2014 berjumlah 871. Paling banyak terjadi di Surabaya, Mojokerto, Jombang, Lamongan, Tuban, Malang, Sidoarjo, Nganjuk, dan Pasuruan. Totalnya mencapai sepuluh kasus.

Ketua Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Sinung D. Kristanto, mengakui masalah kekerasan seksual dan penelantaran pendidikan harus mendapat perhatian lebih, terutama di Surabaya. Sinung juga melihat belum adanya langkah pembinaan terhadap anak yang dilakukan institusi pendidikan. Mereka cenderung melakukan penghukuman terhadap korban kekerasan seksual.

“Contohnya kasus siswa hamil. Selama ini, sekolah tidak pernah mempertanyakan bagaimana dia bisa melakukan hubungan seksual hingga hamil. Mereka hanya melihat sisi kehamilannya saja. Itu artinya, sekolah membolehkan siswa berhubungan seksual asalkan tidak hamil. Ini jadi masalah besar,” kata Sinung.(ima/c2/hen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dugem, Wanita Hamil 7 Bulan Kena Razia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler