jpnn.com - JAKARTA - Kasus kekerasan yang kembali terulang di SMAN 3 Jakarta, tidak mengejutkan bagi Retno Listyarti, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Sebab, budaya kekerasan di SMAN 3 sudah akut, sehingga diperlukan upaya dan cara-cara tersistematis, terencana dan berkelanjutan. Tujuannya untuk memutus mata rantai kekerasan demi mewujudkan sekolah aman dan nyaman bagi peserta didik.
BACA JUGA: Ini Pentingnya Pelajaran Sejarah Bangsa
"SMAN 3 Jakarta seharusnya membangun program Anti Kekerasan yang melibatkan seluruh stakeholder di sekolah, mulai dari siswa, guru, orang tua, alumni, dan pemerintah (Dinas Pendidikan maupun Kemdikbud-red)," ujar Retno dalam siaran persnya, Selasa (3/5).
Saat menjadi Kepsek SMAN 3 Jakarta, Retno mengaku, melakukan langkah awal dengan membuat pemetaan masalah selama hampir dua bulan. Pola, bentuk, modus, korban, pelaku dan penanganan selama ini disisir dan dipelajari. Kemudian data-data dikumpulkan melalui metode observasi dan wawancara ke berbagai pihak.
BACA JUGA: Hanya 1 Persen Siswa Ikut UNBK, Kontribusi Pemda Dipertanyakan
“Sayangnya saya hanya sempat menjadi Kepala SMAN 3 Jakarta sekitar 4 bulan 2 minggu, belum banyak hal yang bisa saya dan management lakukan untuk mengatasi bullying di SMAN 3 Jakarta walau sudah banyak rencana yang ingin kami perbuat saat itu," sergahnya.
Terkait sanksi, Retno berpendapat agar disesuaikan dengan aturan sekolah. Karena pelaku kekerasan sudah kelas XII, yang akan diumumkan lulus pada 7 Mei 2016.
BACA JUGA: Agar UN Berbasis Komputer Lancar, Pemda Harus Lakukan Ini
Sehingga bisa dipertimbangkan nilai sikap dan perilaku. Sebab berdasarkan kurikulum 2013, nilai sikap C bisa mengakibatkan siswa tidak naik kelas atau tidak lulus. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Miris, Satu Kelas Hanya Diisi 1 Siswa
Redaktur : Tim Redaksi