Tetua masyarakat asli di Pesisir Utara Tengah Australia berbagi pengetahuan tentang kelestarian lingkungan dengan para tokoh kelautan dan perikanan Indonesia.
Kelompok dari Provinsi Maluku dan Maluku Utara ini melakukan tur selama empat minggu di pesisir timur Australia, melalui Southern Cross University (SCU).
BACA JUGA: Adelaide Perkenalkan Alat Uji Residu Narkoba di Rumah
Manajer lahan adat Chels Marshall mengatakan ada kesamaan antara budaya, khususnya dalam kekeluargaan, struktur keluarga dan tanggung jawab.
"Masyarakat adat dapat mengelola kampung, lanskap, spesies dan ruang laut," kata Marshall.
BACA JUGA: Puteri Agen Ganda Rusia Dipindah Ke Tempat Aman
"Sudah dikelola selama ribuan tahun dan dengan masuknya konsep-konsep barat banyak kampung telah menjadi salah urus."
Sekitar 30 persen ikan Indonesia bersumber dari perairan sekitar Maluku, menjadikan provinsi bagian timur menjadi bagian integral dari perekonomian negara.
BACA JUGA: Australia Evaluasi Ekspor Domba Ke Timur Tengah
Namun menurut hukum adat, yang bukan pemelihara tidak diizinkan untuk memancing di perairan tradisional.
Salah satu peserta, Eugenius Renjaan dari Politeknik Tual mengatakan munculnya perikanan industri mengancam hak-hak pribumi dan dapat berdampak pada penghidupan masyarakat setempat.
Ia meminta peraturan pemerintah yang lebih kuat untuk melindungi hak-hak itu.
"Cara pemerintah Australia menghormati hak tradisional, kami berharap dapat berbicara dengan pemerintah kami untuk melakukan cara yang sama," katanya. Photo: Nelayan tradisional Indonesia merasa terancam oleh industri perikanan. (ABC News: Samantha Hawley)
Menunjukkan cagar laut Gumma
Tur ini termasuk mengunjungi Cagar Gumma, sebuah kawasan perlindungan masyarakat asli, yang hanya dimiliki dan dikelola oleh orang-orang Aborijin.
Pemilik tradisional bekerja dengan Dewan Tanah Nambucca dan terlibat dengan menteri federal untuk melestarikan lahan sebagai kawasan budaya daripada pembangunan ekonomi.
Chels Marshall melihat kesamaan antara budaya Indonesia dan Aborijin, dan sarannya untuk para peserta adalah melobi pemerintah untuk reformasi kebijakan.
"Dalam pengalaman saya, perubahan itu berasal dari akar rumput," kata dia.
"Perlu ada perubahan paradigma dalam berbagai cara untuk mengetahui dan berpikir di sekitar pengelolaan ruang-ruang alami ini."
Pusat Ilmu Kelautan Nasional memanfaatkan kemiripan ini.
Profesor Stephen Smith mengatakan mungkin ada cara untuk membantu pemilik tradisional kembali ke perikanan pemghidupan.
"Di Indonesia Timur ada kepemilikan adat atas sumber daya dan semakin banyak yang sedang dalam ancaman oleh perikanan besar," kata ia.
"[Pemilik tradisional] mencoba mencari jalan kembali." Photo: Penyambutan secara adat di daerah Gumma. (Supplied: Stephen Smith)
Bagian dari upaya lintas budaya yang lebih besar
Profesor Smith berharap program penelitian SCU dapat mengarah ke jaringan ahli di kedua negara yang dapat mengidentifikasi masalah, menentukan skala dampak dan secara bertahap menerapkan program untuk mengurangi dampak pada lingkungan laut melalui keterlibatan dengan pemerintah lokal dan nasional.
"Saya pikir di Australia kami telah membuat beberapa kemajuan signifikan dalam mengakui pengelolaan dan kepemilikan tanah Adat dan sumber daya dan saya pikir itu pasti dipindahtangankan," katanya.
Profesor Smith mengatakan, perwakilan dari Australia akan mengunjungi Indonesia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dialami para pengunjung selama empat minggu.
"Saya berharap kita dapat membawa beberapa orang tua kami dari daerah ini ke Maluku untuk berbagi pengetahuan itu," katanya.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di ABC Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aktor China Dituduh Lakukan Penyerangan Seksual di Sydney