Pelantikan dilakukan di istana kepresidenan Jogja (Gedung Agung) dan dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain Sultan HB X, juga dilantik Sri Paduka Paku Alam IX sebagai wakil gubernur (Wagub).
Awalnya, pelantikan bakal digelar di Siti Hinggil Keraton Jogjakarta. Namun, lokasi pelantikan itu kemudian dipindah ke Gedung Agung setelah dilakukan koordinasi antara pemprov setempat, pihak keamanan, dan pemerintah pusat.
Perubahan tempat tersebut membuat akses masyarakat untuk menyaksikan pelantikan terbatas. Sebab, hanya undangan yang bisa masuk ke Gedung Agung. Lokasi di sekitarnya juga akan disterilkan karena menjadi area ring 1 kehadiran presiden. "Sebenarnya, masyarakat Jogja ingin bisa menyaksikan pelantikan tersebut," tutur anggota Sekber Keistimewaan Jogjakarta Julius Felicianus.
Sebagai gantinya, masyarakat bisa mengikuti seremoni pelantikan itu dengan melakukan aksi duduk di depan Gedung Agung dengan memakai busana adat Jawa. Undangan terbuka sudah disebar. "Ini simbol kami mengikuti upacara pelantikan," katanya.
Sementara itu, Keputusan DPRD Jogja No 44 Tahun 2012 tentang Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur diprotes kubu KPH Anglingkusumo. Dia akan mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Penghageng Reh Kasentanan versi Anglingkusumo, KPH Widjojokusumo, menyatakan, keputusan tersebut inkonstitusional. Menurut dia, berdasar UU No 13 Tahun 2012, yang diangkat sebagai gubernur dan wakil gubernur adalah sultan dan paku alam yang bertakhta. Nyatanya, DPRD mendasarkan pada aspek keterkenalan.
Menurut dia, Anglingkusumo juga bertakhta. Tapi, DPRD mengabaikan itu karena menganggap Paku Alam IX Ambarkusumo sudah dikenal dalam satu dekade terakhir. "Dewan menafsirkannya kan yang dikenal. Kami menilai itu cacat hukum," katanya di gerbang Pura Pakualaman kemarin.
Menurut dia, DPRD menunjukkan sikap inkonsisten terhadap keberadaan Anglingkusumo yang mengaku sebagai Paku Alam (PA) IX. Sebelum penetapan 21 September 2012, kubunya mengajukan berkas wakil gubernur milik Anglingkusumo ke DPRD dan diterima Sekwan Drajat Ruswandono.
Namun, DPRD enggan memverifikasi berkas tersebut."Kami hanya mempermasalahkan wakil gubernurnya. Tapi, karena ini (penetapan gubernur dan wakil gubernur) dijadikan satu SK, kami mempertanyakan keduanya," tegas dia.
Pernyataan kubu Anglingkusumo diwarnai insiden. Awalnya, mereka ingin melakukan jumpa pers dengan wartawan di dalam Gedung Purworetno Pura Pakualaman. Tapi, Paksi Katon menutup gerbang Pakualaman dan berjaga di situ. Mereka melarang Widjojokusumo dan tim hukum masuk. Sempat terjadi aksi dorong. Pihak Paksi Katon melontarkan teriakan-teriakan dan makian. Akhirnya, Widjojokusumo menyampaikan pernyataan sikap di depan gerbang.
Ketua Paksi Katon Muhammad Zuhud punya alasan untuk melakukan penghalangan itu. Yakni, Surat Edaran Nomor 596/05/IX/12/WS yang dikeluarkan Penghageng Kawedanan Kasentanan KPH Tjondrokusumo. Di situ disebutkan pemanfaatan aset di Kadipaten Pura Pakualaman harus seizin KPH Tjondrokusumo.
"Kalau kanjeng (Widjojokusumo) mau masuk, silakan. Tetapi, yang lain tidak bisa masuk," tegasnya.
Pada perkembangan yang sama, anggota pansus penetapan Arif Rahman Hakim mempersilakan pihak Anglingkusumo jika ingin membawa hal itu ke ranah hukum. "Saya malah apresiasi kalau mereka ambil jalur hukum yang sah. Kalau mereka yang salah, ya mereka harus patuh pada hukum dan jangan bikin ramai lagi. Namun, kalau DPRD yang salah, dewan harus mau memperbaiki SK-nya," kata politikus PKS itu. (fal/hed/jpnn/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekprov Papua Barat Simpan DBH Migas di Rekening Pribadi
Redaktur : Tim Redaksi