Rekam jejak karir Petar Segrt sungguh berwarna. Mulai keputusannya melatih timnas negara konflik, menjadi volunteer dalam dua kali perang di Eropa, hingga menjadi pelatih di Indonesia karena terpesona eksotisme Bali.
DIAR CANDRA, Surabaya
PETER Segrt belum genap setahun merasakan atmosfer sepak bola Indonesia. Meski begitu, ada satu hal yang sudah menancap di benaknya. Yakni, fanatisme suporter. Pria asal Kroasia itu menilai fanatisme suporter Indonesia selevel dengan para gibol (penggila bola) di Eropa.
"Saya respek terhadap suporter Indonesia. Ribuan penonton disatukan oleh satu ideologi tim yang mereka cintai," tutur Petar kepada Jawa Pos dalam sebuah kesempatan di Surabaya beberapa waktu lalu.
Bagi pria 45 tahun itu, gairah penonton sepak bola di Indonesia mengingatkan dirinya pada fanatisme suporter Georgia. Petar tidak asal ngomong karena dia sangat mengenal sepak bola negeri pecahan Uni Soviet itu. Selama empat tahun, sejak 2006, dia membesut timnas Georgia U-21 dan senior.
Petar merupakan sosok penting dalam sejarah sepak bola di Georgia. Bukan hanya ilmu yang diberikan kepada para pemain timnas, tapi juga ketangguhan mental yang menginspirasi warga negeri itu.
Hal tersebut terlihat dari keputusannya memilih bertahan di Georgia saat negeri tersebut dilanda Perang Ossetia pada 2008. Ketika itu, selama sebulan Rusia berusaha menduduki Georgia. Peristiwa tersebut digambarkan dalam film 5 Days of War yang dirilis tahun lalu.
"Ketika terjadi perang itu, saya diinstruksi presiden federasi sepak bola untuk segera keluar dari Tbilisi (ibu kota Georgia, Red) dengan pesawat. Teman-teman saya di Jerman juga memberikan masukan yang sama. Namun, saya tak mau meninggalkan Georgia," ungkap Petar.
Pria yang memulai karir bermain di klub Jerman FV Calw itu berpendapat, sebagai pelatih timnas, sudah seharusnya dirinya memberikan teladan kepada anak asuhnya. Nah, ketika perang pecah, Petar mengumpulkan anak asuhnya di tim U-21 dan memberikan pidato untuk membesarkan hati mereka.
"Saya tak gentar dengan perang yang terjadi. Kalaupun kita harus mati, mungkin itu sudah takdir kita. Bukan kali ini saja saya berada dalam kondisi perang. Pada 1991, saya menjadi bagian dari Perang Balkan. Saya menjadi volunteer kemanusiaan di tanah air saya (Kroasia). Buktinya, saya berhasil hidup hingga hari ini. Karena itulah, mari kita berjuang dan keluar dengan selamat dari perang ini," kata Petar kala itu.
Dalam sebuah momen, dia berpidato di hadapan ribuan warga Georgia di Rustaveli Square, Tbilisi. "Saya gemetar pada awalnya karena tak tahu apa yang harus dibicarakan. Akhirnya, saya bulatkan tekad untuk maju dan menularkan energi positif yang saya punyai," ujarnya.
Periode buruk di Georgia berakhir setelah negara-negara lain di dunia mendesak Rusia mengakui kedaulatan negeri tersebut.
Salah satu momen terbaik Petar ketika melatih timnas Georgia U-21 adalah saat mengalahkan Rusia. Itu terjadi dalam penyisihan Piala Eropa U-21 pada 20 November 2007.
Petar menyebut pertandingan itu sebagai salah satu yang paling mencekam. Bagaimana tidak, setahun sebelum Perang Ossetia, hubungan politik Georgia-Rusia memanas. Tak heran, pertandingan kedua negara yang dilakukan di Tbilisi itu tak diizinkan untuk dilihat suporter.
"Saya diinstruksi untuk tak berekspresi berlebihan kalau menang atau mencetak gol. Sekitar stadion dijaga puluhan tank. Di pinggir lapangan, tentara memanggul senjata dan menunggui pertandingan kami. Hasilnya sungguh luar biasa. Kami menang 2-0 atas Rusia. Sialnya, ketika gol kedua, saya nyaris melonjak kegirangan," papar penggemar sate ayam tersebut.
Pengalaman yang luar biasa itulah yang membuat dirinya tak takut terhadap sorakan atau teriakan penonton di stadion. "Saya sudah menghadapi sesuatu yang lebih menakutkan daripada teror penonton di stadion. Mental saya teruji dalam dua perang itu," paparnya.
Selain timnas Georgia, Petar banyak berkarir di klub-klub Jerman dan Austria. Lisensi pelatih UEFA Pro Licence membuat dirinya mudah mendapat klub. Dengan lisensi tersebut, Petar bisa menangani klub level teratas di negara-negara Eropa. Lisensi itu wajib dikantongi pelatih yang klubnya bermain di Liga Champions atau Europa League (dulu dan Piala UEFA).
Tidak mudah bagi Petar untuk mendapat lisensi pelatih nomor wahid di Benua Biru itu. Meski mengembangkan karir pelatih di Jerman, dia adalah warga Kroasia. Karena itulah, perjuangannya dimulai dari level terdasar.
"Kalau pemain timnas Jerman bisa langsung mendapat lisensi B, saya tidak bisa. Saya jalani takdir saya sebagai seorang Croatian di Jerman," ucap Petar.
Ketika berjuang mendapat lisensi UEFA Pro Licence pada 2001, Petar bersaing dengan nama-nama tenar mantan bintang timnas Jerman. Salah satunya adalah Juergen Klinsmann. Tapi, Petar tidak gentar. Dia tetap percaya hingga akhirnya mendapat lisensi tersebut.
Lantas, mengapa mau melatih klub Indonesia? "Karena keindahan Bali dan bujuk rayu CEO Bali Devata Roso Daras. Dua hal itulah alasan saya mau melatih di Indonesia," katanya.
Ya, sebelum menangani PSM, Petar membesut klub Bali Devata yang berlaga di kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI). Dia menilai ada banyak sisi positif dalam sepak bola Indonesia. Dia memuji berlimpahnya potensi pemain muda di tanah air Indonesia. Sayangnya, pemain muda jarang diberi kesempatan oleh pelatih karena kualitasnya dianggap tak mumpuni.
"Saya yakin Indonesia punya potensi besar untuk level Asia pada masa mendatang. Saat ini, di level Asia Tenggara, Indonesia sudah kembali ke kelasnya dibanding tiga atau empat tahun lalu," ungkap pelatih yang saat menjadi pemain berposisi sebagai defender itu.
Dalam mengembangkan tim, Petar selalu menempatkan banyak pemain muda. Selain alasan menghemat bujet klub, pemain muda akan lebih mudah dipoles dan bertenaga. Hal itu tak lepas dari fondasi gaya kepelatihan Petar yang berkiblat ke Jerman. (*/c5/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Legenda Sepak Bola Dunia Berbagi Ilmu kepada Anak-Anak Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi