Peliknya Menangani Musibah Nuklir karena Gempa, Belajar dari Jepang

Melebihi Ketakutan yang Disebabkan Bencana Nuklir Chernobyl

Minggu, 15 April 2012 – 00:45 WIB
Seorang petugas pemantau sedang menguji makanan dari kemungkinan tercemar radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima. Foto : Rohman Budijanto/Jawa Pos

Gempa di Aceh mengingatkan betapa wilayah Indonesia labil. Persis dengan Jepang. "Untunglah" Indonesia tidak punya reaktor nuklir. Wartawan Jawa Pos ROHMAN BUDIJANTO yang akhir Maret lalu berkunjung ke beberapa kota di Jepang menuliskan betapa peliknya mengatasi PLTN bocor karena gempa-tsunami. Pelajaran penting bagi Indonesia yang pengin punya PLTN.

= = = =
 
DIA tahu namanya terdengar menarik perhatian. Karena itu, saat memperkenalkan diri, pria itu berusaha untuk tersenyum lucu. "Nama saya Osamu Fukushima," kata general manager perusahaan Murakami-Noen itu.

Dia memaklumi namanya dikaitkan dengan bencana PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) Fukushima Daiichi meski itu hanya kebetulan. "Kadang kawan saya juga menjuluki Osamu bin Laden," lanjut bos pabrik persemaian sprout alias kecambah di Prefektur (Provinsi) Yamanashi itu.

Tentu bukan karena dirinya bernama Fukushima pabriknya terimbas bencana nuklir. Meskipun jaraknya lebih dari 90 km dari PLTN Fukushima, Murakami-Noen dan para konsumennya juga ikut waswas. Maka, Murakami yang dijuluki "Kerajaan Kecambah" (luas rumah kacanya 1,3 hektare dan produksinya 3 juta pak per bulan) itu pun melakukan upaya meredam kecemasan tersebut. Yakni, melakukan tes radioaktif secara periodik. Hasil pengujiannya ditayangkan di Murakami-Farm Facebook.

Kami, tujuh wartawan dari berbagai negara, memang diajak mencicipi rasa sprouts. Kecambah berdaun kacang pea sepanjang sekitar 15 cm itu terlihat segar, seperti seledri. Suguhan sayuran itu ditaruh di nampan anyaman bambu dan diedarkan. Kami diminta langsung memakan. Eh, ternyata enak juga. Rasanya segar, seperti rasa mentimun, tapi lebih ringan. Sprouts masuk salah satu makanan kegemaran orang Jepang.

Kerepotan di Murakami itu bagian dari "kerepotan nasional" untuk menepis kecemasan atas efek bencana PLTN di Prefektur Fukushima. Bencana nuklir tersebut memang membuat Jepang tak sama lagi dalam memandang teknologi nuklir. Sebagai negara yang menjadi korban terorisme bom nuklir Hiroshima dan Nagasaki, Jepang memang sempat memercayakan energinya kepada teknologi nuklir.

Hingga kini, ada 54 reaktor nuklir di Negeri Sakura dan memproduksi 40 persen tenaga listrik untuk kebutuhan dalam negeri.Kini kepercayaan itu berubah menjadi ketakutan. Setelah bencana PLTN Fukushima, tinggal satu PLTN yang beroperasi, yakni Tomari No. 3 milik Hokkaido Electric Power Company.

Itu pun akan berhenti beroperasi bulan depan dengan alasan untuk perawatan rutin 13 bulanan. "Saat ini ada kewajiban untuk melakukan stress test (uji tekanan kedaruratan, Red) sebelum mendapat izin restart dari pemerintah," kata Masaru Sato, asisten press secretary di Deplu Jepang via e-mail kepada Jawa Pos Kamis (12/4) lalu. 
 
Selain itu, diperlukan persetujuan warga setempat untuk beroperasi lagi. Itulah yang sulit didapat kini. Sekarang Jepang bergantung kepada energi fosil yang mahal untuk menghasilkan energi. Dan, semua diimpor karena perut bumi Jepang tak kaya migas.
 
Energi nuklir memang sangat menggoda. Sebagai bandingan, satu kilogram uranium bisa memproduksi 2,5 juta kali energi listrik jika dibandingkan dengan satu kilogram batu bara. Itu pun batu bara bisa mengalami kelangkaan. Kalau uranium atau plutonium sebagai bahan bakar PLTN, tak akan ada kelangkaan. Energi tersebut sebenarnya relatif aman. Tapi, kalau bocor atau meledak, yang "hancur" kali pertama adalah psikis manusia dan memunculkan histeria.
 
Ketakutan akibat meledaknya PLTN Fukushima karena gempa dan tsunami pada 11 Maret tahun lalu menyebar ke seluruh dunia. Melebihi ketakutan yang ditimbulkan oleh bencana nuklir Chernobyl yang melontarkan radiasi tujuh kali lipat. Melebihi bencana nuklir di reaktor Three Miles di AS pada 1979.
 
Kini banyak negara yang akan menutup reaktor nuklir. Jepang sendiri tak kapok setelah bom Hiroshima dan Nagasaki, tapi kapok oleh ledakan PLTN Fukushima.
 
Konsentrasi radiasi mungkin hanya sampai radius 20 km dari PLTN Fukushima yang kini menjadi area tertutup. Namun, ketakutan psikologisnya bisa sangat luas, bahkan ke seluruh Jepang. Sektor pariwisata ikut terpukul. Termasuk wisata ke Gunung Fuji yang indah, yang sangat jauh dari Fukushima. Begitu juga, banyak barang Jepang dicurigai beradiasi, termasuk oleh Indonesia.
 
Tak dinyana pula, bencana nuklir itu juga menyenggol reputasi produsen anggur (wine) di Yamanashi.  Prefektur itu disebut sebagai "kerajaan buah Jepang" karena anggur dan pir tumbuh bagus. Tak mengherankan bila 80 pabrik wine di provinsi itu yang punya tradisi sejak 1.800-an. Jepang memang punya arak tradisional, yakni sake. Tapi, wine Yamanashi bergaya Barat karena orang Jepang belajar ke Prancis untuk membuat wine.
 
Kami juga berkunjung ke pabrik wine Soryu Winery di Kota Koshu. Bosnya, Takui Suzuki, menyambut kami dengan ramah. Suzuki yang sudah separo baya itu menceritakan bahwa kampanye untuk menjaga kepercayaan kepada wine dari Yamanashi sampai ke Eropa, termasuk ke Inggris.

Mereka meyakinkan bahwa produk tersebut tak ada yang berhubungan dengan radiasi PLTN Fukushima. "Sambutan mereka positif," kata Suzuki sambil menunjukkan gambar-gambar suasana pameran yang mengundang para penggemar dan kritikus wine itu.
 
Wine Jepang menawarkan rasa khusus karena pohon anggurnya tumbuh berbeda dengan di daratan Eropa. Untuk meyakinkan, dia mengeluarkan tiga jenis wine, dua botol berwarna bening kekuning-kuningan dan satu botol berwarna merah (red wine).
 
Ketika kami ditawari untuk mencicipi, Mohamed Shokeir, jurnalis senior Al Jazeera dari Doha, Qatar, memandang kepada saya. Saya menggeleng karena alasan agama. Dia lalu juga menggeleng. Kami berdua menyaksikan rekan-rekan kami, Su Qi (Tiongkok), Ulrike Scheffer (Jerman), Priscilla Jebaraj (India), dan Lee Sung-Ki (Korsel), mencicipi wine itu dari sloki.
 
"Saya suka rasanya. Lebih ringan," komentar Ulrike Scheffer. Jurnalis harian Der Taggespiegel di Berlin itu membandingkan dengan wine di negaranya yang disebutnya lebih kental.
 
Kami lalu diajak ke ruang bawah gudang wine dan ke pabrik tempat pengolahannya. Di sana ada tabung-tabung besar tempat fermentasi anggur. Tapi, saat itu pabrik sedang tidak beroperasi. Bukan karena sepi pesanan gara-gara bencana nuklir. Namun, pabrik tersebut memang hanya bekerja ketika musim panen anggur. Saat ini sedang peralihan dari musim dingin ke musim semi. Anggur juga baru akan bersemi. Satu musim produksi, Soryu Winery bisa menghasilkan 1,2 juta liter. Per botol berisi 0,9 liter.
 
Setelah bencana nuklir setahun berlalu, Soryu Winery kini lebih tenang. Kepercayaan konsumen mulai pulih. Itulah konsekuensi sebagai bangsa. Meskipun jaraknya jauh, karena sesama wilayah Jepang, apa yang terjadi di Fukushima juga mencemari wilayah lain. Padahal, di Fukushima sendiri radiasi juga tidak berada di level bahaya.
 
Setelah bencana nuklir terjadi, muncul tuntutan untuk memasang alat pemantau radiasi. Kami mendatangi gedung Dinas Lingkungan Hidup Kota Fukushima, 63 km dari titik bencana nuklir, untuk melihat bagaimana cara kerja pemantauan radiasi nuklir. Di sanalah di-install berbagai alat untuk mengukur level radiasi. "Warga bisa datang ke sini untuk meminta pengukuran level radiasi pada makanan atau sayuran," kata seorang petugas.
 
Sebanyak 131 alat pemantau dipasang. Petugas juga menerima panggilan apabila rakyat meminta pemeriksaan di tempat mereka. Misalnya, mengecek kondisi sumur di rumahnya. "Mereka juga boleh membawa sayur, beras, atau makanan lain ke sini untuk dimonitor," kata petugas itu.
 
Di dalam lab banyak sampel bahan makanan yang dibungkus plastik. Petugas juga mendemonstrasikan pemeriksaan kandungan radiasi beras yang ternyata negatif.
 
Hingga kini, di luar radius 20 km dari pusat bencana PLTN milik Tokyo Electric Power Company (TEPCO) tersebut, tingkat radiasi dilaporkan masih dalam batas toleransi. Tingkat radiasi di Kota Fukushima 0,50 mikro Sievert/jam (mikroSv/h) pada 5 Maret lalu. Bandingkan dengan di Kota Futaba (4 km dari PLTN) 22,68 mikroSv/h. Angka terakhir itu dianggap merah. Kota Namie yang berjarak 27 km tercatat tingkat radiasinya 1,45 mikroSv/h dan dianggap kuning.
 
Sebagai bandingan, New York 0,094 mikroSv/h, Taipei 0,065 mikroSv/h, dan Seoul 0,108 mikroSv/h. Dengan data itu, pemerintah meyakinkan dunia bahwa di luar radius zona bahaya, tingkat radiasi baik-baik saja, sama dengan kota-kota lain di dunia. 
 
Meski sudah berusaha meyakinkan dunia, keraguan sulit hilang meski bencana sudah setahun berlalu. Hingga Kamis (11/4), barang ekspor Jepang masih mengalami berbagai pembatasan. Sachiko Takeda dari Deplu Jepang memerinci negara yang masih menangguhkan masuknya makanan dari Jepang atau diharuskan bersertifikat khusus. Yaitu, Korea, Tiongkok, Brunei, Kaledonia Baru, Kuwait, Arab Saudi, Lebanon, dan Mauritius. Sedangkan Indonesia bersama 18 negara lain mewajibkan ada sertifikat asal usul barang dan sertifikat bebas radiasi. Banyak negara lain juga membatasi masuknya barang Jepang lewat syarat yang lebih ketat.   
 
Jepang yang negara sangat maju ternyata tidak siap menghadapi bencana reaktor nuklir. Gempa disusul tsunami telah mengubah pola pikir tentang energi nuklir. Indonesia yang punya wilayah labil gempa seperti Jepang, rupanya, akan sulit mewujudkan PLTN. Apalagi, proyek itu rawan terjadi korupsi.

Di Indonesia pernah terjadi korupsi terkait nuklir, yakni pada anggaran Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) senilai Rp 8 miliar. Rawan korupsi ditambah rawan gempa, sebuah kombinasi mematikan bagi keamanan nuklir. (*/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ali Mahakam, 12 Tahun Bertahan dalam Kondisi Koma


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler