jpnn.com - Dalam dua tahun terakhir, saya mempunyai perhatian terhadap penggunaan kecerdasan buatan.
Awalnya saya merasa ragu bagaimana harus bersikap terhadap kenyataan bahwa kecerdasan buatan di zaman kontemporer hadir sebagai realitas.
BACA JUGA: BRI & Microsoft Eksplorasi Kecerdasan Buatan untuk Akselerasi Inklusi Keuangan
Banyak orang, mulai dari kalangan muda hingga senior mulai melirik bagaimana memanfaatkan penggunaan kecerdasan buatan, khususnya dalam dunia pendidikan.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa kecerdasan buatan, mampu merumuskan kata-kata penuh empati, belas kasih, dan mengandung rasa kemanusiaan yang tinggi.
BACA JUGA: Kecerdasan Buatan Makin Canggih, Masyarakat Diminta WaspadaÂ
Akan tetapi itu hanya rumusan kata-kata yang dihasilkan oleh mesin.
Paus Fransiskus (2024) mengungkapkan bahwa kebijaksanaan hidup tidak dapat diperoleh dari mesin.
BACA JUGA: Anies Sindir Bansos Biru Muda Pj Gubernur DKI, Singgung Kecerdasan Rakyat, Pedas!
Kata empati dan belas kasih perlu dilatihkan dalam kenyataan hidup dan bukan hanya dikatakan.
Meskipun istilah "kecerdasan buatan" kini lebih umum digunakan daripada "pembelajaran mesin" yang lebih tepat dalam literatur ilmiah, penggunaan kata "kecerdasan" dapat menyesatkan.
Mesin memang memiliki kapasitas lebih besar dalam menyimpan dan mengorelasikan data dibandingkan manusia, namun hanya manusia yang dapat memahami makna dari data tersebut.
Hal ini bukan hanya tentang membuat mesin terlihat lebih manusiawi, tetapi juga tentang membangunkan manusia dari ilusi kekuasaan yang membuat orang lupa akan status diri sebagai makhluk yang tidak otonom dan terikat dengan ikatan sosial.
Manusia dalam pandangan Fransisikus (2024) selalu dalam diri menyadari adanya ketergantungan dan berupaya mengatasi kerentanan dengan berbagai cara.
Dari artefak prasejarah yang digunakan sebagai perpanjangan tangan, hingga media berfungsi sebagai perpanjangan perkataan, orang sekarang memiliki mesin canggih yang mendukung pemikiran.
Ketika manusia mencoba mencapai pengetahuan atau kekuatan yang seharusnya hanya dimiliki oleh Tuhan, mereka cenderung menggunakan alat atau instrumen yang tersedia, tetapi dengan tujuan yang buruk atau salah.
Mereka mencoba untuk meraih pemahaman dan kepuasan secara mandiri, tanpa memperhitungkan bahwa pengetahuan dan nikmat seharusnya diterima sebagai anugerah dari Tuhan dan dinikmati bersama-sama.
Semua yang dimiliki dapat menjadi peluang atau ancaman tergantung pada niat.
Dalam analisis Fransiskus (2024) tubuh manusia yang diciptakan untuk komunikasi dan persekutuan dapat menjadi alat agresi.
Demikian pula, setiap perkembangan teknologi dapat digunakan untuk pelayanan kasih atau dominasi yang bermusuhan.
Kecerdasan buatan dapat membantu dalam pertukaran informasi dan memudahkan akses ke warisan pengetahuan, namun juga bisa menjadi sumber "polusi kognitif" yang menghasilkan distorsi realitas.
Orang telah melihat ambivalensi dari gelombang pertama kecerdasan buatan, seperti media sosial, dengan segala potensi dan risikonya. Kecerdasan buatan generatif menawarkan lompatan kualitatif signifikan.
Oleh karena itu, penting memahami dan mengatur teknologi ini agar tidak disalahgunakan. Seperti halnya keterampilan dan kecerdasan manusia lainnya, algoritma tidak netral.
Orang perlu bertindak preventif dengan mengembangkan model regulasi etis untuk mencegah dampak negatif dan diskriminatif dari penggunaan kecerdasan buatan.
Dengan pemahaman mendalam tentang dampak yang luas dari kemajuan teknologi terhadap kehidupan manusia, Paus Fransiskus (2024) menyoroti pentingnya memiliki kerangka kerja yang jelas dan berkelanjutan dalam menangani tantangan dan risiko yang terkait dengan kecerdasan buatan.
Langkah bijak tersebut mencerminkan kesadaran akan kompleksitas masalah yang terkait dengan etika, keamanan, dan dampak sosial dari teknologi kecerdasan buatan serta kebutuhan akan kerjasama global dalam menetapkan standar yang adil dan bermartabat.
Dalam konteks kehidupan manusia, regulasi semata tidaklah cukup. Meskipun penting memiliki peraturan yang mengatur penggunaan kecerdasan buatan, perlu juga diakui bahwa aspek-aspek kehidupan paling berharga tidak dapat diatur sepenuhnya oleh hukum semata.
Hal ini menyoroti perlunya pendekatan holistik dalam menangani permasalahan kompleks, di mana regulasi diimbangi dengan kesadaran moral, nilai-nilai kemanusiaan, dan pertimbangan etis dalam setiap langkah pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
Diperlukan pendidikan yang cukup tentang dampak moral dari teknologi, upaya meningkatkan pemahaman diri secara menyeluruh, dan penanaman nilai-nilai yang menggalakkan tanggung jawab sosial serta kepedulian terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, sementara regulasi penting, kebutuhan akan pemikiran lebih luas dan inklusif dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam masyarakat manusia tidak boleh diabaikan.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari