jpnn.com - Data dari tahun ke tahun menunjukkan kapasitas industri penerbangan Indonesia terus meningkat. Bukan hanya pada traffic penumpang, pesanan pesawat baru dari maskapai-maskapai Indonesia ke “pabrik pesawat” seperti Boeing dan Airbus juga berada pada angka yang mencengangkan.
Sebagai bukti, Chairman Lion Air Group Rusdi Kirana tahun lalu mendapat penghargaan Légion d'Honneur dari pemerintah Prancis. Presiden Francois Holande menyebut penghargaan itu sebagai the highest honor given by the French government to civilians and military personnel. Penghargaan diberikan setelah Lion Air pada 2013 menandatangani kontrak pembelian 234 pesawat Airbus.
BACA JUGA: Tidak ada Pekerjaan Overlay di Bandara Soetta, Sampai..
Prestasi Garuda Indonesia juga mentereng dalam sepuluh tahun terakhir. Sebagai penyandang the flag carrier of Indonesia, tahun ini Garuda mendapatkan penghargaan sebagai Most Improved Airlines 2017 dari AirlineRatings. Sebelumya, 2016, “sayap-sayap” Garuda memenangi penghargaan sebagai The World Best Cabin Crew 2016 dari Skytrax. Banyak lagi prestasi Garuda yang menunjukkan bahwa dunia penerbangan Indonesia memiliki masa depan cerah.
Momentum ini secara sigap disambut pemerintah—terutama Kementerian Pehubungan—yang menyiapkan pembangunan 15 bandara baru dan perpanjangan runway di puluhan bandara di seluruh pelosok negeri. Di bidang navigasi penerbangan, langkah besar dilakukan AirNav Indonesia guna meningkatkan standar keselamatan penerbangan dengan investasi teknologi modern yang tidak murah.
BACA JUGA: AP II dan Garuda Indonesia Diminta Latihan
Dukungan datang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur, khususnya bandara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Dalam upaya menarik lebih banyak wisatawan asing untuk datang ke Indonesia—selain kebijakan bebas visa—pemerintah juga merencanakan Soekarno Hatta Internasional Airport (SHIA) dan Ngurah Rai Airport menjadi bandara dengan fungsi sebagai international hub.
Sebagai ilustrasi, bandara hub layaknya supermarket besar yang menampung banyak barang dari para produsen dan penyuplai, dari kelas industi skala besar sampai UMKM, untuk selanjutnya didistribusikan ke konsumen. Prinsip yang sama berlaku di bandara hub, yang menampung penumpang dari bandara-bandara lain, untuk kemudian disalurkan (digabungkan) ke pesawat lain sesuai tujuan.
BACA JUGA: Tiba-Tiba Muncul di Soetta, Aktor Korsel Ini Bikin Geger
Pengalaman Heathrow
Heathrow Airport menjadi bandara terbesar di Inggris, di mana penumpang yang transit di sana bisa mengakses 80 penerbangan berbeda dengan 180 tujuan di 85 negara. Pihak maskapai juga terbantu dengan sistem hub and smoke karena bisa memaksimalkan jumlah penumpang dari berbagai kota dan berkumpul di Heathrow, untuk kemudian mengisi jadwal reguler masing-masing.
Selain maskapai, penumpang juga diuntungkan dengan sistem ini. Pertama, akses yang lebih mudah ke dan dari bandara karena infrastruktur bandara hub biasanya lebih lengkap mulai dari mass rapid transport (MRT), bus dan lain-lain.
Kedua, banyak pilihan destinasi di banyak negara untuk bisnis maupun liburan. Ketiga, frekuensi penerbangan yang lebih sering ke destinasi-destinasi menarik, dan keempat, tarif lebih murah karena persaingan antar maskapai.
Di atas kertas hub and smoke model menarik untuk dikerjakan. Namun, tantangan dan masalahnya tidaklah sesederhana yang dikira. Kondisi faktual di SHIA juga tidak sama dengan yang berlaku di Heathrow.
Selain itu, sejauh ini apa dan bagaimana hub internasional yang dimaksud otoritas di Jakarta sejauh ini belum jelas. Apakah SHIA mau jadi pemain (hub) regional di ASEAN, internasional, ataukah hanya hub dari berbagai daerah di Indonesia? Semuanya memerlukan jawaban yang tepat dan terukur.
Berkaca dari airports hub besar yang ada sekarang, seperti Singapore Changi, Dubai International Airport, Madrid Barajas, Amsterdam Schiphol, Paris Charles De Gaulle, maupun Frankfurt Airport, rasanya tak mudah SHIA langsung menuju level yang sama dalam waktu singkat. Salah satunya dalam fasilitas pendukung, di mana akses dari SHIA ke pusat kota tidaklah mudah akibat kemacetan yang seolah menjadi rutinitas.
Meskipun MRT bandara akan beroperasi satu tahun lagi, tapi itu bukanlah satu-satunya solusi. Diperlukan blueprint transportasi kota terpadu dan interkoneksi antar-moda sehingga bisa memastikan dan memangkas waktu yang tidak diperlukan.
Tantangan lain, jarak SHIA dan Changi terlalu dekat, sehingga sulit untuk bersaing pada kelas yang sama. Selain itu, SHIA juga belum terkoneksi secara langsung ke destinasi-destinasi dunia, khususnya Eropa dan Amerika.
Dengan banyaknya kendala menjadi hub kelas dunia, lalu apakah SHIA cukup menjadi hub regional bagi pesawat-pesawat dari daerah? Di sini juga ada tantangan yang tak mudah.
Sebagai ilustrasi, misalnya saja rute Jakarta – Tokyo, di mana SHIA menjadi hub bagi penumpang dari berbagai smoke di daerah. Secara bisnis ini menarik, karena rute dari Jakarta ke Tokyo bisa terisi penuh dengan hub Jakarta.
Tentu tidak mungkin membayangkan dari setiap kota di Indonesia ada penerbangan langsung ke Tokyo. Namun bagaimana dengan rute internasional berjarak pendek seperti Jakarta ke Singapura atau Kuala Lumpur, yang mana saat ini sudah terlanjur beroperasi direct flight dari berbagai kota di Indonesia. Hal inilah yang harus dipecahkan terlebih dahulu, sebelum membangun hub internasional yang direncanakan.
Isu lain terkait rencana hub internasional adalah kepadatan di SHIA yang saat ini sangat tinggi. Sebagaimana diketahui, pergerakan (movement) pesawat di SHIA mencapai 69 unit per jam. Dari rata-rata movement, 78 persen di antaranya digunakan untuk penerbangan domestik, sedangkan sisanya oleh penerbangan internasional.
Bila SHIA menjadi hub internasional, berapa panjang antrian movement akan bertambah, dan bagaimana pula dampaknya, khususnya dalam menjamin ketepatan waktu berangkat pesawat. Hingga saat ini Kemenhub belum menjawabnya.
Pentingnya Sinergi
Sementara bila dicermati, prioritas Kemenhub sejauh ini tampaknya masih fokus mencari hub bagi masing-masing maskapai, bukan hub internasional sebagaimana dimaksud di atas. Seperti dikatakan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Agus Santoso, saat ini pihaknya tengah melakukan pembaharuan bandara hub dan smoke untuk mengurangi beban di SHIA.
Skenarionya, Kemenhub akan mengatur maskapai yang akan mengklaim bandara tententu di daerah sebagai hub-nya dan bandara mana yang berstatus sebagai smoke bagi maskapainya. Seperti langkah manajemen Lion Air yang memilih bandara Adi Sumarmo di Solo sebagai hub.
Bila demikian planning-nya, maka itu belum menjawab pertanyaan apakah hub internasional di SHIA akan terus didorong ke depan. Barangkali, dengan melihat berbagai tantangan dan masalah penerbangan kita sekarang, SHIA sebaiknya lebih dulu fokus menjadi hub internasional bagi smoke dari seluruh provinsi di Indonesia.
Setelah positioning disana kuat, baru meningkat menjadi hub skala ASEAN, sambil merebut sebagian “kue” penerbangan internasional dari Changi, dengan menerapkan tarif lebih rendah namun dengan kualitas service yang sama. Pasar ke arah sana terbuka, karena penerbangan dari Eropa, Timur Tengah dan Amerika ke Australia dan Selandia Baru, secara teknis bisa transit di SHIA.
Apalagi dengan tekad Angkasa Pura (AP) II untuk memodernisasi SHIA secara besar-besaran, hal itu linear dengan semangat mewujudkan hub internasional. Bila atraksi SHIA juga digarap serius, seperti membuat airport mall sekelas Dubai, atau atraksi lainnya yang menarik di lingkungan bandara, sangat mungkin banyak maskapai tertarik.
Dengan kekayaan budaya Indonesia, banyak produk budaya yang bisa disajikan ke turis yang transit di SHIA. Di sinilah diperlukan sense of marketing yang tajam dari AP II agar wajah SHIA mendatang lebih atraktif dan menarik.
Pada saat yang sama, ibu kota Jakarta membereskan infrastruktur dasar yang friendly to tourists, khususnya mengurai kemacetan secara signifikan, membuat pedestrian yang manusiasi dan mengoperasikan transportasi massal yang benar-benar terpadu. Setidaknya menyaingi Singapura dan Kuala Lumpur.
Bila Jakarta dapat melakukan ini—di bawah komando Gubernur hasil Pilkada 2017—hub internasional bagi SHIA tinggal menunggu waktu. Bahkan mungkin SHIA tak hanya menjadi hub untuk ASEAN, namun juga level Asia dan bahkan dunia.
“Siape takut!” begitulah kata orang Betawi. Semoga.(***)
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta dan pemerhati kebijakan publik.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menhub Tinjau Bandara Soetta, Hasilnya?
Redaktur : Tim Redaksi