jpnn.com - Manusia, yang menentukan kelestarian lingkungan, menghadapi dilema antara kepuasan hidup dan tanggung jawab menjaga ekosistem.
Dorongan untuk menguasai alam seringkali menghasilkan eksploitasi lingkungan, dengan teknologi sebagai pendorong utama (Siahaan, 2007), menciptakan sebuah dilema etika dalam keberlanjutan lingkungan.
BACA JUGA: Kampanye Pakai Syal Tenun Khas NTT, Kaesang Ajak Coblos Muka Gibran
Kondisi hutan di Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Siahaan (2007), terbentuk dengan laju pengurangan hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun. Total kerusakan kawasan hutan mencapai 60,9 juta hektar dari luas total 120,34 juta hektar.
Tantangan lingkungan di Indonesia menjadi semakin serius dengan bencana alam seperti kebakaran hutan dan kekeringan yang semakin memperburuk kondisi hutan.
BACA JUGA: Gibran Calon Wakil Presiden Percaya Diri, Patut Diapresiasi
Oleh karena itu, langkah-langkah konservasi dan mitigasi yang lebih efektif menjadi penting, dan dalam konteks ini, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat menjadi krusial untuk menjaga keberlanjutan ekosistem.
Melihat tren kegiatan pengurangan kawasan hutan (deforestasi) sejak tahun 2000, meskipun terdapat penurunan, angka tersebut masih berada di atas satu juta hektar per tahun.
BACA JUGA: Ingin Petani Sejahtera, Relawan Gesira Deklarasi Dukung Prabowo-Gibran
Seperti yang dinyatakan oleh Handadhari (2009:38), data deforestasi yang meningkat tajam dibandingkan dengan periode pengurangan hutan tahun 1980-1990, seluas 0,9-1,3 juta hektar per tahun, menjadi sinyal peringatan yang tidak boleh diabaikan.
Berkurangnya kawasan hutan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, melainkan juga oleh tindakan manusia, khususnya masyarakat desa.
Sesuai dengan penjelasan Senoaji (2009:12), tindakan memanfaatkan hutan untuk membuka ladang, menebang pohon untuk keperluan kayu pertukangan, dan pengambilan kayu bakar menjadi kontributor utama dalam transformasi kawasan hutan menjadi kebun, ladang, pemukiman, sawah, dan penggunaan lain di luar fungsi hutan.
Pandangan yang meletakkan manusia sebagai pusat alam semesta dan menjadikan alam sebagai alat pemuas kepentingan manusia adalah sebuah kesalahan pemahaman yang berpotensi merusak ekosistem secara berlebihan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Sulistya (2006), pandangan semacam ini dapat memicu sikap eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali, di mana manusia merasa memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun terhadap alam demi memenuhi segala kebutuhan mereka.
Pentingnya membangun pemahaman yang lebih proporsional, di mana manusia diintegrasikan sebagai bagian dari alam, bukan sebagai penguasa mutlak, menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.
Edukasi yang mendorong kesadaran akan keterkaitan erat antara manusia dan lingkungan harus diperkuat, sehingga masyarakat dapat mengembangkan sikap bertanggung jawab terhadap alam.
Sementara itu, peningkatan kesadaran ekonomi masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan ekologis.
Melibatkan masyarakat dalam menentukan parameter tingkat pendapatan yang sesuai dengan keberlanjutan lingkungan lokal dapat mengurangi tekanan eksploitatif.
Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga non-pemerintah perlu ditingkatkan untuk menciptakan kebijakan dan program pembangunan yang berkelanjutan, memastikan bahwa kebutuhan ekonomi tidak melampaui kapasitas alam untuk menyediakan sumber daya.
Dengan demikian, perubahan menuju keberlanjutan lingkungan dapat dicapai melalui kerjasama dan kesadaran bersama.
Dalam era pembangunan yang semakin pesat, manusia harus menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup agar keberlanjutan planet ini terjamin.
Kunci utama adalah mengiringi peningkatan ekonomi yang berkelanjutan dengan komitmen kuat terhadap pelestarian alam, sehingga generasi mendatang dapat menikmati lingkungan yang sehat dan nyaman.
Upaya ini melibatkan percepatan pencapaian target pembangunan berkelanjutan, termasuk pencapaian target Net Zero emisi gas rumah kaca (GRK), yang menjadi tolok ukur penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global.
Menurut visi Gibran Rakabuming Raka, penurunan jejak karbon (carbon footprint) dan jejak air (water footprint) yang dihasilkan dari berbagai produk menjadi aspek mendesak dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.
Langkah-langkah inovatif dan tanggap terhadap dampak lingkungan perlu diterapkan dalam rantai produksi hingga konsumsi.
Pemahaman akan dampak karbon dan air dalam setiap tahapan proses produksi menjadi landasan untuk menciptakan strategi yang lebih berkelanjutan.
Perusahaan, baik skala besar maupun usaha kecil, harus memprioritaskan kebijakan ramah lingkungan dalam menjalankan operasionalnya.
Langkah konkrit dalam mengurangi beban lingkungan dapat diwujudkan melalui pemanfaatan bioplastik. Bioplastik, yang berasal dari sumber daya alam terbarukan, dapat menggantikan plastik konvensional yang sulit terurai.
Diperlukan upaya yang lebih masif dalam mempromosikan dan mengintegrasikan bioplastik dalam kehidupan sehari-hari.
Peningkatan produksi dan pilihan produk berbahan ramah lingkungan menjadi langkah penting untuk mengurangi dampak negatif plastik terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Dalam menghadapi tantangan pelestarian lingkungan, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci. Pemerintah, perusahaan, LSM, dan masyarakat perlu bekerja sama dalam merancang dan melaksanakan kebijakan yang mendukung lingkungan.
Inisiatif bersama antara sektor swasta dan pemerintah dapat menciptakan regulasi yang lebih ketat terhadap praktik-praktik industri yang merugikan lingkungan.
Pentingnya Net Zero emisi GRK sebagai komitmen global menunjukkan bahwa tantangan pelestarian lingkungan tidak mengenal batas negara. Kerja sama internasional dalam mengatasi perubahan iklim menjadi semakin penting.
Negara-negara perlu bersatu untuk berbagi pengetahuan, teknologi, dan sumber daya guna mencapai tujuan bersama dalam menjaga kelangsungan hidup bumi.
Sebagai kesimpulan, pelestarian lingkungan bukanlah pilihan, melainkan suatu keharusan. Kita tidak hanya bertanggung jawab pada masa kini, tetapi juga pada masa depan.
Melalui komitmen yang kuat, pendidikan lingkungan yang berkelanjutan, pemanfaatan teknologi hijau, dan kerjasama lintas sektor, manusia dapat mencapai visi lingkungan yang lestari untuk generasi mendatang.
Hanya dengan upaya bersama, kita dapat menjamin kehidupan yang seimbang antara manusia dan alam.
Penulis Adalah Ketua Pengajian Pemuda Toharotul Qulub (PPTQ) Parung
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif