jpnn.com - JAKARTA – Pemanfaatan lahan gambut bisa menjawab berbagai persoalan global seperti ekonomi, ketahanan pangan, energi, serta perubahan iklim. Hal itu akan tercapai apabila dilakukan dengan penerapan ilmu dan teknologi yang tepat.
“Jadi salah besar anggapan orang yang mengatakan lahan gambut kalau dimanfaatkan untuk budidaya tanaman itu akan merusak lingkungan. Itu pemahaman yang keliru,” kata DR Sunarwidi, ahli lahan gambut Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam keterangan persnya, Senin (27/1).
BACA JUGA: Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Turunan tak Bisa Ditawar
Menurutnya, semua jenis tanah bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman dan tidak akan mengganggu ekologi apabila menggunakan teknologi yang tepat. “Jadi lahan gambut tidak merusak lingkungan apabila digunakan untuk budidaya tanaman,” katanya.
Dia membenarkan bahwa lahan gambut akan melepaskan emisi gas CO2 ke udara. Namun dia meyakini pelepasan gas CO2 itu tidak akan merusak lingkungan karena sifat gas CO2 akan kembali diserap oleh tanaman yang ada di sekitarnya.
BACA JUGA: Terendam Banjir, PLN Akan Ganti KwH meter Gratis
“Tanaman itu agar bisa tumbuh khan memerlukan CO2. Sementara itu tanaman kita itu masih kekurangan CO2,” kata Sunarwidi.
Jadi, menurut Sunarwidi, tidak masalah lahan gambut dimanfaatkan untuk budidaya tanaman sawit atau karet. Dari sisi ekologi, kata dia, pemanfaatan lahan gambut tersebut justru akan berdampak positif terhadap lingkungan maupun ekonomi.
BACA JUGA: Jelang Imlek, Kue Keranjang dan Tebu Nongol Lagi
Sebelumnya, Presiden Federasi Himpunan Ilmu Tanah se-Asia Timur dan Asia Tenggara (ESAFS) Yuswanda Tumenggung berpendapat, selain pemanfaatan lahan gambut bisa untuk memenuhi kebutuhan lahan pangan dan energi, juga bisa digunakan untuk industri berbasis biomassa. “Kuncinya adalah pemanfaatan ilmu dan teknologi yang tepat,” katanya.
Menurut Yuswanda, penerapan manajemen pengelolaan air dengan teknologi ekohidro bisa menjaga kelembaban gambut untuk menekan pelepasan emisi gas rumah kaca. Dikombinasikan dengan jenis tanaman yang tepat, lahan gambut yang dimanfaatkan bahkan bisa menyerap emisi gas rumah kaca. “Jadi secara akumulasi emisi gas rumah kacanya justru lebih banyak yang terserap dan tersimpan,” kata Yuswanda.
Indonesia merupakan negara keempat dengan luas lahan rawa gambut terluas di dunia yaitu sekitar 20 juta ha setelah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Penyebaran lahan gambut ini umumnya terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Namun potensi ekonomi yang ada di lahan gambut tersebut saat ini tidak bisa dimanfaatkan, karena pemerintah menerapkan moratorium pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya tanaman.
Diketahui, pemerintah melanjutkan kebijakan penundaan pemberian izin (moratorium) baru hutan alam dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung dan produksi untuk jangka waktu dua tahun ke depan. Kebijakan ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 Mei 2013 lalu.
Terkait pemberlakuan moratorium tersebut Indonesia dijanjikan akan mendapatkan komitmen kucuran dana hingga USD1 miliar dari Norwegia.
Namun dalam perkembangannya, Inpres tersebut, banyak menuai persoalan, seperti adanya benturan regulasi antara Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14Tahun 2009 tentang Pengaturan Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Kebun Sawit. Padahal, industri kelapa sawit nasional telah berkontribusi besar terhadap pendapatan pemerintah dari sektor non migas, dan juga menyerap tenaga kerja. (awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Kena Denda Rp 378 M
Redaktur : Tim Redaksi