jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah pemangku kepentingan sektor tembakau memprotes isi Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang dinilai mengkhianati amanah UU Nomor 17 Tahun 2023 yang merupakan aturan di atasnya.
Salah satu yang paling mencolok adalah usulan kewajiban penerapan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik.
BACA JUGA: Universitas Padjadjaran dan Universitas Catania Kaji Pengurangan Bahaya Tembakau Alternatif
Padahal, UU 17/2023 maupun aturan turunan PP 28/2024 tidak mengamanahkan pengaturan terkait desain dan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik.
Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Suryadi Sasmita, menyarankan Permenkes tersebut disarankan untuk dikaji ulang terlebih dahulu sebelum disahkan.
BACA JUGA: Polres Cimahi Gerebek Rumah Produksi Tembakau Sintetis di Bandung
Sesuai Perundang-undangan, lanjutnya, sejumlah pemangku kepentingan di sektor pertembakauan dan Kementerian/Lembaga yang menaungi berbagai sektor tersebut turut dilibatkan dalam membahas rancangan Permenkes ini.
"Harus ada keterlibatan dua belah pihak yang secara seimbang. Jangan sampai hanya memenangkan satu pihak dengan yang lain. Karena situasi Indonesia saat ini sedang cukup kompleks," ujarnya.
BACA JUGA: Polisi Gerebek Indekos yang Dijadikan Tempat Produksi Tembakau Gorila di Serang
Suryadi menjelaskan masalah kompleks itu berdampak pada seluruh pelaku sektor tembakau, diantaranya petani tembakau-cengkeh, produsen rokok, hingga buruh, terlebih ini sektor padat karya.
"Kita apresiasi upaya Kemenkes mengadakan public hearing. Tapi perlu dipertimbangkan bahwa kondisi Indonesia itu berbeda dengan negara lain, misalnya ASEAN. Kita itu manufacturer. Indonesia rantai pasoknya lengkap, dari bahan baku hingga produsen. Jadi kalau hanya mengedepankan argumentasi kesehatan, ya memang tidak akan pernah ketemu," ucapnya.
“Kita percaya data kita ada 6 juta tenaga kerja dalam industri tembakau yang akan terdampak,” lanjutnya.
Adapun yang menjadi sorotan lainnya oleh Suryadi dalam Permenkes tersebut yaitu standar desain kemasan produk rokok baik produk konvensional maupun elektronik yang harus bewarna pantone 448 C.
Penelitian menyebutkan warna cokelat lumpur tua ini merupakan warna terjelek di dunia yang dapat berdampak negatif pada pelaku industri rokok.
"Secara kolektif pemangku kepentingan sektor tembakau telah menolak usulan aturan kemasan polos. Karena memang secara historis Indonesia pernah melakukan gugatan kepada WTO di tahun 2015 dan itu menjadi satu pertimbangan," katanya
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi, menambahkan penyeragaman baik dari sisi warna dan desain pada kemasan rokok dikhawatirkan mendorong penyebaran rokok ilegal.
Hal ini hanya akan merugikan semua pihak, melukai industri lebih jauh, dan di sisi lain penerimaan cukai negara juga akan ikut merosot tajam. Selain itu, tujuan pengendalian konsumsi produk tembakau yang dicita-citakan oleh Kementerian Kesehatan juga tidak tercapai.
"Ketika rokok legal diatur secara eksesif, nanti rokok ilegal yang akan makin bertebaran di pasaran. Rokok ilegal kan gak pakai kemasan apapun, tidak peduli aturan apa pun. Nah kemudian secara umum, makin ketatnya regulasi di sektor ini ya akan makin berat bagi industri tembakau yang kinerjanya juga sedang tidak baik," ucap Benny.
Ia pun mengingatkan bahwa cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) merupakan penyumbang terbesar penerimaan cukai di Indonesia. Hingga Juli 2024, penerimaan cukai rokok tercatat sebesar Rp 111,3 triliun.
Maka itu, sambungnya, jangan sampai Indonesia disamakan dengan negara-negara lain yang tidak ada industri, tidak ada mata rantai produksi dan penghasil tembakaunya.
"Industri tembakau di Indonesia itu beda. Cukai kita berkontribusi hampir 10 persen dari penerimaan negara. Negara lain kan nggak. Jadi nggak bisa disama-samakan," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, menilai Permenkes ini dapat membunuh rantai pasok hulu dan hilir industri rokok.
"Nah produk kalau penjualannya dibatasi, kan pada akhirnya nanti pelan -pelan ya itu mati. Ya, pemutusan hubungan kerja, terus penyerapan bahan baku, cengkeh sama tembakau berkurang. Ya otomatis kan, lama -lama kan sektor industri tembakau mati, untuk itu usulan aturan kemasan polos ini kita tolak," paparnya.
Ketut pun mempertanyakan solusi dari pemerintah dalam menangani masalah ini. Khususnya, keberlangsungan hidup para petani tembakau hingga cengkeh.
Ketut juga menilai kemasan polos sama saja membiarkan konsumen jadi buta, yang akhirnya malah akan menguntungkan produk ilegal.
Sedangkan, Wakil Ketua Umum Bidang Pendidikan FSP RTMM-SPSI, Bapak xxx mengkhawatirkan nasib buruh yang bekerja di industri rokok nantinya apabila Permenkes ini disahkan.
"Kami membawahi kurang lebih 230 ribu pekerja, 64 persennya dari sektor rokok dan tembakau. Tentu masyarakat industri rokok tembakau ini akan terdampak, ," ucapnya.
Ia pun mendesak pemerintah memikirkan juga nasib para buruh kerja di industri rokok yang ditakutkan kehilangan mata pencaharian, khususnya buruh perempuan.
"Jika industri daya beli menurun, menyediakan lapangan kerja juga sulit. Buruh di industri posisi tawarnya lemah, karena kebanyakan buruh wanita yang tidak punya skill dan pendidikan juga rendah. Paling tidak, pemerintah berpihaklah terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidup para pekerja. Kami tegas menolak aturan turunan PP Kesehatan seperti yang kami sampaikan pada acara,” pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif